Headlines News :
Home » » Hilmar Farid: Sekilas tentang Analisis Kelas

Hilmar Farid: Sekilas tentang Analisis Kelas

Written By Seputar Marhaenis on Rabu, 25 April 2012 | 12.54

Pembicaraan hari ini soal analisis kelas. Tapi, sebelum sampai ke sana, saya akan menyambung apa yang tadi disebut bahwa George Aditjondro misalnya menyatakan bahwa jangan hanya analisis kelas, kita juga harus mengerti soal etnis, jender. Peringatan semacam itu disampaikan, karena orang yang menggunakan analisis kelas menganggap bahwa dimensi kelas itu penting—kalau bukan yang paling penting—di dalam kenyataan sosial. Saya tidak termasuk jenis itu. Bagi saya, analisis kelas, jender, etnis, dan segala macam adalah cara kita mengorganisasi pengetahuan. Kita lihat suatu masyarakat, dimensi apa yang kita mau perhatikan: bisa kelas, bisa jender, bisa apapun. Dalam kesempatan yang satu dimensi kelas sangat menonjol dibanding dimensi yang lain, sementara dalam kesempatan lain tidak.

Jadi, analisis kelas bukan untuk dihadap-hadapkan, dipertentangkan dengan macam-macam pendekatan atau analisis yang lain. Memang ada kekhususan dari analisis kelas: membayangkan bahwa gerak sejarah dari masa lalu sampai sekarang kelas memang sangat menonjol. Bukan yang paling penting, tetapi sangat menonjol, dan banyak menentukan dimensi kehidupan yang lain. Nanti saya akan sampai ke sana. Tapi kurang lebih itu awalan untuk membicarakan analisis kelas. Analisis kelas merupakan satu dari sekian banyak cara untuk melihat masyarakat.

Dalam tulisan yang mudah-mudahan sempat dilihat, sebetulnya ada dua bagian. Bagian pertama tentang sejarah teori, karena tujuan dari tulisan itu adalah berbicara tentang hubungan ilmu sosial dengan kekuasaan. Hubungan itu ternyata tidak mulus. Kita tahu selama Orde Baru banyak ilmuwan sosial dipekerjakan oleh pemerintah untuk membuat proyek-proyek penelitian yang kesimpulannya akan mendukung kebijakan pemerintah. Saya kira sampai sekarang masih ada. Departemen-departemen merekrut peneliti-peneliti sosial untuk membuat studi yang rekomendasinya untuk mendukung kebijakan pemerintah.

Jika dilihat dari segi perkembangan ilmu sosial di Indonesia dari tahun 1970-an, sempat populer apa yang disebut teori modernisasi. Teori tersebut membayangkan bahwa masyarakat seperti Indonesia yang bekas jajahan, miskin, yang biasanya disebut Dunia Ketiga harus mengejar ketertinggalan. Ada keyakinan di sana bahwa perkembangan umat manusia itu sebetulnya sama saja: dari tradisional ke modern, dan yang perlu dilakukan oleh ilmuwan sosial adalah mencari pola-pola tersebut. Teori modernisasi mungkin di beberapa universitas masih dipelajari. Tetapi, umumnya sudah ketinggalan, ada salahnya, dan banyak bias-nya. Namun demikian, teori tersebut sempat dominan. Hal yang menarik adalah, teori modernisasi menjadi dominan di Indonesia karena tidak ada alternatifnya. Jika kita melihat orang-orang di tahun 1970-an menulis, hampir semua menganggap bahwa teori modernisasi adalah ilmu sosial itu sendiri. Jadi, ilmu sosial tidak terdiri atas macam-macam pendekatan, tetapi satu saja: teori modernisasi. Teori itulah yang diajarkan dan dipahami sebagai kebenaran.

Pertanyaannya kemudian, mengapa bisa sampai seperti itu? Mengapa bisa satu dari sekian banyak pendekatan dalam ilmu sosial dianggap sebagai ilmu sosial itu sendiri? Itu memang ada sejarahnya. Pada titik itulah pembahasan tentang sejarah teori menjadi sangat penting. Kita tahu di Indonesia ada peristiwa G30S/1965 dan pembasmian PKI (Partai Komunis Indonesia). Bersamaan dengan itu terjadi perubahan yang sangat mendasar di dalam kajian-kajian ilmu sosial. Banyak sekali orang yang ditangkap, tidak boleh berekspresi dan kemudian negara membuat pembatasan-pembatasan sampai pada tingkat yang tidak masuk akal. Buku yang dilarang itu buku yang sebetulnya mengkritik Marxisme. Franz Magnis-Suseno misalnya, dia seorang yang anti komunis, pastur Katholik, Jesuit, sama sekali tidak pernah ada tanda-tanda bahwa dia mendukung PKI atau massanya, bukunya dilarang. Jadi, memang tidak ada hubungan antara kebenaran dengan praktik pelarangan.

Pembatasan yang dilakukan Orde Baru sangat dalam dampaknya, termasuk di lingkungan universitas. Orang tidak mau mengajar teori-teori tertentu karena alasan keamanan. Ada satu dua dosen yang tidak berani mengajar lebih karena alasan-alasan tersebut. Bukan karena percaya yang lain itu benar, tetapi karena tidak diperbolehkan mengajar. Itu satu segi. Jadi, perkembangan ilmu sosial di Indonesia memang sangat dikontrol oleh negara. Akibat dari itu adalah kita tidak pernah—paling tidak dalam ilmu sosial tahun 1970-an—mengenal wacana kelas. Di belahan lain di dunia orang berbicara tentang kelas. Tidak ada yang aneh dengan itu. Kelas itu sangat sentral. Dalam percakapan sehari-hari di Indonesia hal itu tidak kita kenal. Itu seperti dihapus. Ada semacam pengikisan mental (mental eraser) yang membuat orang tidak bisa berpikir tentang kelas: kombinasi antara represi dan kekosongan pengetahuan. Itu berlangsung cukup lama.

Kelas mulai dibicarakan lagi awal 1980-an, ketika ada banyak orang Indonesia bersekolah di Amerika, di "dunia bebas", pulang ke Indonesia dan kemudian mencoba mengembangkan apa yang mereka pelajari. Sebut beberapa nama, seperti almarhum Farhan Bulkin, Dawam Raharjo dan Arief Budiman. Mereka mengembangkan apa yang mereka sendiri sebut sebagai ilmu sosial kritis atau ilmu sosial historis. Itu nama yang mereka pakai sendiri. Jurnal utamanya waktu itu adalah Prisma. Jadi kalau mau melihat tulisan-tulisan awal tentang kelas, periksa Prisma dari tahun 1981 sampai kira-kira 1985/1986 penuh dengan tulisan-tulisan tentang kelas dari berbagai macam aspek. Itu pertama kalinya analisis kelas kembali ke Indonesia. Namun, analisis kelas yang berkembang waktu itu masih terbatas. Terbatas dalam segi: mereka menggunakan konsep kelas, tetapi fokus utamanya adalah mencari siapa subjek revolusioner; siapa agen yang bisa membawa perubahan di era Orde Baru yang macet. Kita sering mendengar agen perubahan, seperti pemuda. Diskusi tentang kelas terkait dengan diskusi tersebut: mencari siapa yang menjadi agen perubahan. Dari situ mulai dilihat mana kelas yang paling berkepentingan atas perubahan. Sebagian menyebutkan, jika mengikuti analisis Marxis dari Barat adalah kelas pekerja (working class), buruh. Dari situlah muncul perhatian terhadap buruh dan orang menulis tentang buruh. Sebagian lainnya menganggap bahwa yang paling berkepentingan adalah kelas menengah, karena hanya dengan kebebasan dia bisa tumbuh. Diskusi itu berlangsung terus, dan terkait dengan usaha demokratisasi melawan Orde Baru.

Sampai kira-kira tahun 1990-an, isu kelas kembali menghilang, diganti oleh satu konsep yang sampai sekarang ada, yaitu civil society. Sampai sekarang orang membicarakan itu dengan bahasa macam-macam. Ada yang menyebutnya civil sosiety, masyarakat sipil, masyarakat madani. Tapi, intinya, civil society yang tidak jelas bentuknya itu dianggap sebagai agen perubahan. Poerubahan bisa kita harapkan dari kalangan itu, bukan dari yang lain. Ilmu sosial praktis didominasi oleh pembicaraan seperti itu, dengan pertanyaan dasar: siapa yang menjadi agen perubahan. Jadi, bisa dibilang, analisis kelas—kalaupun dia muncul di era Orde baru—sambil lewat, karena ada pembicaran lain yang lebih penting, bukan karena ada keinginan untuk memahami masyarakat secara lebih lengkap melalui perspektif kelas. Itu bagian pertama tentang sejarah teori. Saya persingkat saja.

Bagian kedua yang lebih penting adalah apa sebenarnya isi analisis kelas itu. Analisis kelas perlu kita bedakan. Kalau orang memberi judul atau menggunakan kata kelas dalam judul tulisannya tidak berarti bahwa dia menggunakan analisis kelas. Orang yang sekalipun mengklaim bahwa dia menggunakan analisis kelas juga tidak dengan sendirinya dia betul-betul mengembangkan analisis kelas. Bisa saja dia hanya menggunakan retoriknya, jargonnya, istilah, tetapi dengan kerangka yang sama sekali lain dengan analisis kelas.

Di Indonesia yang paling terkenal justru orang Australia, bukan kita: Richard Robinson. Bukunya tahun 1986 sangat terkenal, Indonesia The Rise of Capital. Buku itu berisi tentang kemunculan kelas kapitalis di Indonesia. Analisis Robinson pada dasarnya memperhatikan tumbuhnya orang-orang yang dia golongkan sebagai kelas kapitalis atau borjuasi. Ada borjuasi Cina, borjuasi pribumi, domestik, asing dan seterusnya. Dia membuat semacam pemetaan. Cara pemetaan inilah yang paling popular. Kompas pernah membuat survey di jaman Soeharto tentang pemetaan kelas menengah. Itu ada 18 kelas menurut Kompas. Jadi, kelas dalam pengertian tersebut—seperti yang dipakai Robinson, Kompas, Farhan, Aswab Mahasin dan orang-orang Prisma waktu itu—sebetulnya sama, semuanya ingin mengklasifikasi masyarakat. Jadi, masyarakat hendak dilihat dalam kelas-kelas yang berbeda. Kemudian dilihat ekspresi politiknya, gaya hidupnya dan berbagai macam kecenderungannya. Mereka melihat berbagai macam pola dari klasifikasi tersebut. Hal itu menarik, karena orang-orang tersebut menganggap bahwa ilmu sosial yang mereka kembangkan itu baru: inilah dia jawaban terhadap ilmu sosialnya Orde Baru yang didominasi teori modernisasi. Padahal, menurut modernisasi, ibarat kita memukuli kuda mati, dan berharap bisa berjalan. Sudah tidak ada perlunya teori modernisasi dibuktikan kesalahannya, karena itu sangat mudah. Membayangkan bahwa kritik yang mereka buat itu sudah berbeda dari apa yang ada sebelumnya. Analisis yang mereka kembangkan sangat mirip dengan analisis kelas yang dikembangkan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Bandingkan misalnya tulisan Aswab mahasin dengan Aidit tentang kelas menenagh, beda-beda tipis. Aswab bilang bahwa kelas menengah itu para kyai, guru madrasah, yang atribut sosialnya kuat di dalam masyarakat: memiliki pamor, nama baik dan semacamnya. Aidit pun cara membagi kelasnya demikian. Jadi, atribut sosial digunakan sebagai penanda batas-batas kelas. Jadi bukan soal ekonomi, tetapi juga soal perilaku. PKI misalnya, pada jaman land reform awal 1960-an mengenal tuan tanah baik dan tuan tanah jahat. Jadi, sekali lagi kita lihat, bukan posisi dalam masyarakat berdasarkan ekonominya yang dikembangkan, tetapi juga tentang bagaimana dia bersikap. Jadi, secara metode dan juga metodologi ada kesamaan antara analisis kelasnya PKI dengan ilmu sosial historis/ilmu sosial kritis. Demikian juga Richard Robinson. Hampir semuanya masuk di dalam cara berpikir yang berusaha mengklasifikasi masyarakat, membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas. Perbedaannya hanya apa yang membedakan kelas satu dengan kelas lainnya. Perbedaannya hanya itu, sementara cara pandang, cara kerja dari teorinya itu sama. Dan jangan-jangan ilmu sosial yang banyak dikembangkan di NGO misalnya, atau di dalam gerakan sosial juga sama. Masih dengan cara seperti itu, berusaha mengklasifikasi masyarakat.

Saya berpandangan lain. Analisis kelas tidak demikian. Tidak untuk menentukan kotak-kotak, karena analisis kelas semacam itu akan sangat bermasalah secara teori maupun politik. Secara teori penjelasannya begini: ketika krisis terjadi tahun 1997 banyak buruh dipecat. Bukan hanya buruh, sampai level menejer rendahan yang posisinya di atas blue colar dipecat. Jadi apa mereka? Kebanyakan dari mereka menganggur. Menggunakan tabungan mereka dari pesangon sampai cukup lama, kemudian menjadi pedagang. Buruh, nasibnya lebih jelek, tidak tentu mendapatkan pekerjaan. Mereka menjadi bagian yang sering disebut under class, paria. Tetapi, ada pula yang lumayan, memiliki tabungan, kemudian membuka warung. Jadi, penyebaran dari orang-orang yang dipecat bermacam-macam.

Nah, jika kita memakai analisis kelas yang sifatnya klasifikasi, maka kita akan mengamati orang berpindah dari kelas satu ke kelas lain dalam waktu yang relatif cepat. Dalam tulisan itu saya beri contoh kawan kerja saya sendiri. Dia kerja kantoran, setelah dipecat menjadi sopir taksi. Dia termasuk kelas buruh. Dari yang tadinya masuk kategori kelas menengah dalam beberapa hari jadi sopir taksi. Setelah menjadi sopir taksi selama tiga bulan, diberi modal oleh orang tuanya kemudian membuka warung. Jadilah dia borjuis kecil. Dari borjuis kecil, kemudian usahanya lumayan jalan sampai kemudian diambil alih istrinya karena mendapat pekerjaan lagi—yang posisinya kurang lebih sama dengan posisi dia awal. Jadi, posisinya kembali lagi ke awal menjadi bagian dari kelas menengah.

Jika setiap orang bisa pindah-pindah kelas dalam kehidupannya yang relatif singkat—katakanlah dua sampai tiga tahun—lalu apa yang mau kita analisis? Itu artinya tidak ada yang namanya struktur. Kita tidak bisa bicara lagi tentang proses sosial yang panjang, apalagi bicara kecenderungan politik. Jadi, analisis kelas yang semacam itu—membuat klasifikasi—sangat terbatas dan sangat bermasalah secara teoretis, karena menganggap kenyataan sosial itu mengikuti kategori-kategori yang kita miliki. Padahal sebaliknya, kita membuat kategori itu untuk lebih memahami kenyataan. Di samping itu bermasalah pula secara politik. Dalam pengorganisasian misalnya, kita akan kesulitan menentukan kelompok sasaran, karena perpindahan orang dari satu kelas ke kelas lainnya begitu cepat. Dalam perburuhan misalnya. Sekaran ini paling ruwet. Masuk pengorgasnisasian buruh, begitu buruhnya berubah menjadi pedagang, maka dia bukan lagi menjadi kelompok sasaran pengorganisasian.

Sekarang hal seperti itu menjadi norma, menjadi aturan, bukan lagi pengecualian. Fleksibilisasi dari pasar tenaga kerja memang membuat buruh tidak lagi seperti di jaman lalu bisa diprediksi keberadaannya di dalam pabrik selama 10, 15 sampai 20 tahun. Maka analisis kelas yang semacam itu pasti akan kesulitan untuk memahami kenyataan pasar tenaga kerja yang fleksibel seperti sekarang. Dan parahnya nanti secara politik organisasi buruh akan kehilangan orang. Baru mau diorganisasi orangnya sudah ganti. Dengan kalimat lain, serikat buruh tidak bisa berkembang jika menggunakan cara berpikir semacam itu. Masalah ini sekarang menjadi bahan diskusi yang sangat serius di kalangan serikat buruh. Jadi, secara politik pengorganisasian masyarakat bermasalah jika menggunakan analisis semacam ini. Sayangnya, atau menariknya, cara pandang tersebut masih dominan. Kita menganggap buruh itu homogen seperti jaman dulu. Demikian juga dengan petani. Dengan demikian, analisis kelas model pengklasifikasian, pertama dia tidak jalan dan kedua secara politik. Lalu, alternatifnya apa?

Alternatif bagi saya sederhana. Sederhana bukan berarti yang paling benar. Menurut saya, kembali lagi saja ke awal: bagaimana analisis kelas itu untuk pertama kalinya berkembang. Untuk itu mau tidak mau kita harus kembali ke Marx. Marx terlalu sering disalahpahami. Orang menganggap bahwa teori dia mengenai pertentangan proletariat dengan borjuis. Itu betul dan penting. Tapi, cara pandang dia sangat lain dengan apa yang kemudian disebut Marxisme-Leninisme. Judulnya Marxisme, tepai pemikirannya sebetulnya lain dengan Marx.

Ada satu kitab sucinya kaum Marxis-Leninis, judulnya Fundamental of Marxism-Leninism, terbit tahun 1952 di jaman Stalin, kemudian diubah. Karena itu kita harus berhati-hati edisi mana yang kita baca. Di dalam Marxisme-Leninisme cara pikir mereka sebenarnya agak mirip dengan lingkup ilmu sosial historis: membuat klasifikasi, kemudian dari situ kita menentukan perilaku politik. Masalah-masalah cara pandang semacam ini di lapangan politik, cukup jelas di Soviet, ketika Stalin menggasak Kulak. Cukup jelas di Tiongkok. Banyak penangkapan di jaman Revolusi Kebudayaan di Cina. Alasan penangkapan karena borjuis. Kenapa dianggap borjuis, karena menimbun barang di rumahnya, dan itu haram, bukan menurut Marx, tapi menurut aturan Partai Komunis Cina. Jadi, kita lihat bahwa cara pelebelan kelas itu bisa mematikan. Jadi, sangat bermasalah secara politik.

Kembali ke Marx, bagaimana cara dia menganalisis hingga bisa sampai pada kesimpulan adanya kelas-kelas dalam masyarakat. Pembagian atau pemisahan kelas itu berangkat dari kajian dia mengenai kapitalisme. Itu yang perlu dicatat. Marx, menurut saya, bukan seperti filsuf atau semacam nabi yang bisa memberikan jawaban terhadap seluruh masalah di dunia. Yang paling penting bagi saya dari Marx adalah cara dia melihat kapitalisme. Dari situ seluruh teorinya mengenai kelas dan segala macam mengalir. Tapi, kita harus paham terlebih dahulu bagaimana cara dia memahami kapitalisme, atau apa yang dia sebut kapitalisme.

Diskusi mengenai kapitalisme harus kembali kepada apa yang disebut kapital. Apa sebetulnya modal itu, dan bagaimana modal itu berkembang. Untuk memulai penjelasannya saya tidak akan bercerita isi buku Das Kapital, tetapi diambil dari sana. Memulai pembahasannya dari apa yang disebut komoditas (barang dagangan). Di dalam usaha untuk membuat barang dagangan, artinya menjual, membuat barang untuk dijual, kita melalui satu fase. Kita memiliki sejumlah uang yang disimpan dalam proses produksi untuk menghasilkan uang yang lebih besar.

Rumus dasarnya:

M (Money) – C (Commodity) – M (Money)

Nah, mana yang disebut modal? Banyak orang seperti Robinson misalnya, menganggap modal adalah uang. Jadi, bagi dia kapitalisme dimulai ketika datangnya/masuknya aliran uang ke Indonesia: investasi. Maka, bagi dia momen yang paling penting adalah ketika Orde Baru mengundang investor dari luar untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Nah, perkembangan kapitalisme dimulai dengan itu. Bagi Marx, tidak! Bukan soal uang yang penting. Uang memang penting, tapi bukan yang paling penting. Yang penting adalah memahami proses M–C–M secara keseluruhan. Mengapa? Sebab, jika sekarang kita memiliki uang Rp 1.000 kita mau investasi, yang palin gkita perlukan apa? Apa yang paling kita perlukan untuk membuat proses produksi itu berjalan? Tenaga kerja. Ada mesin tanpa ada tenaga kerja yang menjalankan mesin tidak akan menghasilkan apa-apa. Dengan kalimat lain, uang saja tidak cukup. Punya banyak uang tidak dengan sendirinya bisa menghasilkan proses produksi kapital. Apalagi—dan ini paling penting—di dalam suatu masyarakat di mana cara produksi kapitalis itu tidak merata. Di sebagian kecil negara di dunia ini cara produksi non-kapitalis masih bertahan. Tetapi kebanyakan sekarang sudah disebut generalize, sudah secara umum kapitalis. Jadi, sekarang lebih mudah daripada seratus tahun lalu untuk berproduksi. Seratus tahun lalu tidak mudah. Jima membaca, misalnya penelitian tentang perkebunan yang ditulis Ann Stoler, tulisan-tulisan Benjamin White, akan kelihatan bahwa pada masa lalu yang menjadi masalah di perkebunan adalah bagaimana caranya memobilisasi tenaga kerja. Kenapa perkebunan di Sumatera Timur banyak Jawanya, banyak orang Cina, itu karena tidak ada orang. Orang-orang Batak pada saat itu masih relatif bisa menjaga diri untuk tidak terlibat di dalam proses produksi kapitalis. Jadi, ada satu proses yang membuat orang kemudian mau bekerja di dalam cara produksi kapitalis yang tidak menyenangkan itu. Dan ini yang menurut Marx adalah titik awal yang penting untuk dianalisis sebelum kita bisa memahami gerak dari M–C–M. Kebanyakan orang berbicara turunan-turunan. Saya dalam tulisan itu antara lain berbicara tentang apa yang disebut akumulasi primitif (akumulasi asali): awal modal mulai berkembang.

Awal mula modal itu bukan karena ada uang, melainkan karena ada uang, karena ada alat produksi dan karena ada tenaga kerja yang bisa digerakkan untuk berproduksi. Dan jika kita melihat sejarah dimanapun di dunia, proses tersebut penuh masalah, sangat berdarah, dan penuh kekerasan. Dalam buku Naomi Klain yang baru misalnya, dia berbicara tentang Short Doctrine: The Rise of Disaster of Capitalism, kapitalisme bencana. Menurut analisis dia, setiap bencana sekarang diikuti dengan ekspansi kapitalisme. Dia memberi contoh yang sangat bagus. Waktu New Orleans terkena bencana, para pejabat di sana sudah memiliki rencana—pada saat korban bencana belum tahu bagaimana kehidupan mereka setelah bencana—pembangunan yang sesuai dengan logika pasar. Sistem pendidikan di New Orleans sangat terkenal karena serikat buruhnya kuat, mempertahankan pendidikan publik dan sangat sedikit pendidikan swasta. Karena bencana alam ini, seluruh gurunya dipecat. Jumlah sekolah pun berbalik jumlahnya, dari yang awalnya sekolah swasta dari 7 menjadi 30, dan sekolah publik yang tadinya 30 menjadi 2. Kita bisa melihat bahwa ternyata banyak hal, termasuk bencana alam bisa menjadi titik tolak bagi ekspansi kapital. Jika melihat sejarahnya sendiri di Inggris ada hukum encloser namanya. Jika sempat melihat film Brave Heart, film itu bercerita tentang awal munculnya kapitalisme, tentang orang-orang Scotlandia yang tidak mau patuh pada aturan kerja yang mulai diterapkan oleh Inggris, sehingga mereka menjadi buronan orang Inggris. Mereka digambarkan liar, tidak beradab, dan tidak disiplin. Disiplin apa? Ya, disiplin kapitalisme. Akan sangat panjang jika kita berbicara popular culture di Inggis. Karnaval dan segala macam ikut dihabisi dan gereja banyak berperan di dalam proses awal ini. Jadi sebelum roda kapitalis itu bisa bergerak seperti yang kita kenal sekarang harus ada penaklukan dulu. Harus ada apa yang disebut pemaksaan. Pemaksaaan dalam pengertian imposission. Orang dipaksa untuk mengikuti logika kerja kapitalis, dan itu bisa melalui hukum, norma-norma, aturan sosial.

Dari M–C–M, lalu di mana tempat kelas? Tempat kelas adalah ketika proses M – C – M mulai bergerak. Jadi, bisa dibilang bahwa proses pembentukkan kelas itu, bagi saya, jauh lebih menentukan daripada kelas klasifikasi kelas tadi. Jadi class formation itu jauh lebih penting daripada memotret kelas (klasifikasi). Karena itu juga mengapa analisis kelas selalu historis. Dia tidak mungkin membuat potret tentang masyarakat, karena cara berpikirnya bukan memotret. Jika sekarang kita berbicara tentang modal, mana yang disebut modal? Gerak M–C–M secara keseluruhan itulah yang disebut modal: gerak dari uang menjadi komoditi menjadi uang. Itulah yang disebut capital. Jadi, kapital itu bukan benda, dan ini paling kunci yang dipikirkan oleh Marx ketika dia berbicara tentang apa yang disebut veticism/fetisisme (pemberhalaan). Kapital itu diberhalakan, dianggap inilah penentu dari segalanya. Jadi, sesuatu yang merupakan proses oleh orang kemudian diambil unsur-unsurnya dan dianggap inilah dia intinya. Jadi kalau sekarang misalnya bilang, "wah itu modal akan masuk", sudah harus ada di dalam kepala, asumsinya, lahan yang tersedia untuk menjalankan produksi kapitalis juga sudah ada. Akumulasi modal dengan sendirinya menjadi akumulasi tenaga kerja. Kalau kita melakukan akumulasi modal, uang kita bertambah banyak, bersamaan dengan itu, orang yang bekerja di dalam cara produksi kapitalis juga semakin banyak, dan di situ pemisahan kelas terjadi. Jadi, pemisahan kelas bukan karena perbedaan jenis pekerjaannya. Susah memuat analisis kelas berdasarkan sensus. Itu catatan penting bagi peneliti. Kalau misalnya andalan dia sensus dan data statistik, seorang peneliti tidak akan memperoleh proses, melainkan potret. Potret tidak akan bisa dipakai untuk memahami situasi kelas di dalam suatu masyarakat.

Jika pembahasan kita persingkat, maka pertanyaannya, apa kemudian implikasinya? Implikasinya secara teoretik satu: sulit bagi kita membuat penelitian yang isolasi subjeknya di dalam kategori kelas tertentu. Contoh, dalam isu buruh misalnya. Siapa sih kelas buruh itu? Kelas buruh adalah mereka yang masih bekerja di pabrik. Itu definisi buruh menurut UU Ketenagakerjaan, bukan menurut analisis kelas. Kadang-kadang kita berpikir sangat legalistik. Kategori-kategori sosial kita ambil dari hukum. Padahal itu dua hal yang berbeda. Bahkan kadang-kadang hukum dibuat untuk menutupi kenyataan sosial. Dengan menyebutkan bahwa dia masih bekerja, dengan sendirinya orang yang dipecat tidak memiliki hak selayaknya seorang tenaga kerja.

Implikasi teoretis dari cara pandang yang melihatnya secara lebih historis, pertama, harus melihat dia (buruh) senantiasa dalam sebuah proses, artinya harus tahu mengapa dia sampai pada keadaan seperi itu; dan kedua, sadar bahwa kategori itu tidak mutlak. Dengan sendirinya, kalau misalnya sekarang kita bicara soal konsep, apa konsep paling tepat untuk menamai, katakanlah memberi label pada kelompok-kelompok sosial yang kita lihat, menurut saya, harus selalu dimengerti bahwa kelompok-kelompok sosial itu terbagi-bagi, terbelah-belah dalam proses tertentu. Konsep hanya berguna sejauh dia memang bisa menangkap kenyataan itu. Jika kenyataan disuruh-suruh mengikuti konsep, nah itu yang repot. Itu kira-kira implikasi metode.

Secara politik, seperti yang tadi kita lihat, sulit untuk membangun gerakan buruh dengan cara pengklasifikasian. Secara politik, membuat gerakan misalnya, gerakan buruh, gerakan tani, akan sangat sulit bila harus mengikuti metode klasifikasi. Jika menggunakan metode proses maka kita bisa membuat organisasi yang jauh lebih terbuka. Mungkin serikat buruh lama—yang berpatokan pada tenaga kerja tetap—bukan lagi model yang menjanjikan. Harus berpikir pengorganisasian di dalam kominitas. Karena sekarang buruh menetap di tempat tinggalnya, sekarang pengorganisasian pindah ke tempat orang yang bekerja, atau tidak bekerja. Dan seluruh pemisahan yang selama ini kita buat, seperti pekerja, penganggur, dan macam-macam harus diperiksa ulang, agar pengorganisasian politik bisa efektif. Jika terus bertahan pada status yang sifatnya legal, maka serikat buruhnya hanya mengurus orang yang bekerja di pabrik. Implikasinya, serikat buruh tidak akan pernah menjadi besar, karena buruh sekarang tidak berusia lama di dalam pabrik.

Jadi, seluruh logika pengorganisasian serikat yang bertumpu pada pemahaman lama mengenai kapitalisme sudah saatnya dipikir ulang. Cara pikir yang lama tapi baru seperti yang dikemukakan Marx—tentu dengan modivikasi. Karya asli Marx membuka pintu yang jauh lebih solit mengenai kapitalisme daripada ilmu sosial historis maupun Marxisme-Leninisme-nya PKI. Marxisme-Leninisme-nya PKI sederhana, karena itu pelabelan: tuan tanah baik, tuan tanah jahat dan seterusnya. Tidak disadari bahwa dalam kenyataan ada dinamika, posisi sosial seseorang bisa naik dan turun. Dan ketika membuat organisasi berdasarkan klasifikasi semacam itu seringkali gagal. Menarik, bahwa dalam sejarah politik gerakan-gerakan yang mencoba mengorganisasi berdasarkan kelas, kita lihat selalu terbalik dengan teorinya. Orang-orang yang mendukung analisis semacam itu justru dari mereka yang tidak, bukan dari mereka yang paling tidak diuntungkan. PKI dan BTI misalnya, petani sedang, bukan buruh tani. Buruh tani malah cenderung mengikuti tuan tanah baik dan tuan tanah jahat yang di atas. Jadi, sangat terkait antara upaya untuk memobilisasi politik dengan cara kita memahami masyarakat dengan analisis kelas maupun bukan.

Terakhir sebagai penutup, kembali ke dalam sejarah teori ilmu sosial, sekarang sebetulnya dunia akademik dan dunia aktivis jauh lebih terbuka. Sehingga agak sulit untuk mengatakan ini paradigma dominan dan yang lainnya tidak. Ada pertandingan dan kompetisi di dalamnya. Pertanyaannya, apakah analisis kelas sekarang masih relevan? Ada yang bilang sudah tidak relevan, karena kapitalisme yang ada sekarang sudah jauh berkembang dari kapitalisme yang menjadi perhatian Marx. Memang betul, tapi sebenarnya kapitalisme dulu maupun sekarang berdiri di atas prinsip yang sama: M-C-M. Pada titik itu tidak ada perubahan. Tidak ada perubahan yang terlalu istimewa dari cara kerja modal. Semuanya untuk akumulasi. Bahwa ada banyak ragam atau cara akumulasi modal yang lain, itu betul, tetapi prinsip dasar yang menghidupinya tetap sama.

Sejauh mana analisis kelas berguna atau tidak? Kalau saya melihat, analisis kelas masih sangat berguna sebagai titik awal untuk memahami kapitalisme yang kompleks. Sebab, bagaimanapun juga, setuju atau tidak, suka atau tidak, jika kita hendak menganalisis sesuatu harus dimulai dari satu titik. Kita tidak bisa memulai dari chaos—menjelaskan segala hal. Jika ingin membuat analisis yang serius harus ada titik berangkat. Boleh di akhir perjalanan kita melakukan analisis kita lihat bahwa apa yang kita lihat pada awalnya tidak ternyata tidak sehebat yang kita duga sehingga banyak revisi. Itu tidak masalah, karena dengan cara itulah teori berkembang. Dan di dalam semangat menghidupkan teoni, analisis dan politiknya sekaligus, saya kira analisis kelas tidak ada matinya. Dia akan terus berguna di dalam rangka menghidupkan seluruh perdebatan di dalam politik, bagaimana caranya menghasilkan politik yang efektif, di dalam teori, bagaimana kita lebih bisa mengorganisisasi kenyataan di dalam sistem pengetahuan kita, tergantung di mana kita berdiri dan apa yang kita kerjakan. Tapi jelas, dia sangat berguna. Sengaja saya tutup dengan provokasi berhadap ada reaksi, sehingga terjadi perdebatan.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Seputar Marhaenis - All Rights Reserved