Headlines News :

Latest Post

Memperingati 50 Tahun Wafatnya Karl Marx

Written By Seputar Marhaenis on Sabtu, 05 Mei 2012 | 06.41

Marx & Engels among workers by A Venetsian 1961
Berikut kami publikasikan Tulisan Bung Karno untuk memperingati 50 tahun wafatnya Karl Marx. Tulisan ini dipublikasi oleh Bung Karno di Fikiran Ra’jat, 1933. Dimuat kembali dalam rangka kemajuan pengetahuan.

Oleh: Soekarno

Pada tanggal 5 Mei kemarin, 192 tahun yang lalu terlahir seorang pemikir terbesar abad 19 dan sekaligus pemimpin terkemuka gerakan kelas pekerja Internasional, dia adalah Karl Heinrich Marx. Teori ekonomi dan gagasan politiknya kini masih terus menancapkan pengaruh, dan terus-menerus menemukan kebenarannya. Untuk itu, bertepatan dengan kelahiran tokoh besar tersebut, Berdikari Online mengangkat salah satu tulisan Soekarno, presiden pertama RI dan sekaligus tokoh terkemuka pembebasan nasional Indonesia di Fikiran Ra’jat, 1933. Tulisan di bawah ini adalah tulisan Bung karno, berjudul “Memperingati 50 Tahun Wafatnya Karl Marx. Tulisan ini sangat menjelaskan apresiasi Bung Karno yang sangat besar kepada Karl Marx.

F.R (Fikiran Ra’jat, ed) nomor yang sekarang ini adalah mendekati 14 Maret 1933. Pada hari itu, maka genap 50 tahun yang lalu, yang Karl Marx menutup matanya buat selama-lamanya.

Marx dan Marxisme!

Mendengar perkataan ini, -begitulah dulu pernah saya menulis-, mendengar perkataan ini, maka tampak sebagai suatu bayangan di penglihatan kita gambarnya berduyun-duyun kaum yang mudlarat dari segala bangsa dan negeri, pucat muka dan kurus badan, pakaian berkoyak-koyak; tampak pada angan kita dirinya pembela dan kampiun si mudlarat tadi, seorang ahli pikir yang ketetapan hatinya dan keinsyafan akan kebiasannya mengingatkan kita pada pahlawan dari dongeng-dongeng kuno Jermania yang sakti dan tiada terkalahkan itu, suatu manusia yang “geweldig”, yang dengan sesungguh-sungguhnya bernama “datuk” pergerakan kaum buruh, yakni Heinrich Karl Marx.

Dari muda sampai wafatnya, manusia yang hebat ini tiada berhenti-hentinya membela dan memberi penerangan pada si miskin, bagaimana mereka itu sudah menjadi sengsara, dan bagaimana jalannya mereka itu akan mendapat kemenangan: tiada kesal dan capainya (lelahnya, ed.) ia bekerja dan berusaha untuk pembelaan itu: selagi duduk diatas kursinya, dimuka meja tulisnya, begitulah ia pada 14 Maret 1883, -lima puluh tahun yang lalu (tulisan ini dimuat pada tahun 1933, ed.)-, melepaskan nafasnya yang penghabisan.

Seolah-olah mendengarkanlah kita dimana-mana negeri suaranya mendengung sebagai guntur, tatkala ia dalam tahun 1847 berseru: “E, Kaum Proletar semua negeri, kumpullah menjadi satu.” Dan sesungguhnya! Riwayat dunia belum pernah menemui ilmu dari satu manusia, yang begitu cepat masuknya dalam keyakinannya satu golongan di dalam pergaulan hidup, sebagai ilmunya kampiun kaum buruh ini. Dari puluhan menjadi ratusan, dari ratusan menjadi ribuan dari ribuan menjadi laksaan, ketian, jutaan… begitulah jumlah pengikutnya bertambah-tambah. Sebab, walaupun teori-teorinya sangat sukar dan berat bagi kaum pandai, maka “amat gampanglah teorinya itu dimengerti oleh kaum yang tertindas dan sengsara, yakni kaum melarat kepandaian yang berkeluh kesah itu”.

Berlainan dengan sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita sosialisme itu dapat tercapai dengan cara pekerjaan bersama antara buruh dan majikan, berlainan dengan umpamanya: Ferdinand Lassalle, yang teriaknya ada suatu teriak perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali memakai kata kasih atau kata cinta, membeberkanlah paham pertentangan klas: paham klassentrijd, paham perlawanan zonder (tanpa, ed.) damai sampai habis-habisan. Dan bukan itu saja! Ilmu Dialektik Materialisme, ilmu statika dan dinamikanya kapitalisme, ilmu Verelendung, -semua itu adalah “jasanya” Marx. Dan meskipun musuh-musuhnya, terutama kaum anarkis, sama menyangkal jasa-jasanya Marx yang kita sebutkan diatas ini, meskipun lebih dulu, di dalam tahun 1825, Adolphe Blanqui sudah “menjawil-jawil” ilmu Historis Materialisme itu, meskipun teori harga lebih itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli-ahli pikir sebagai Sismondi dan Thompson, -maka toh tak dapat disangkal, bahwa dirinya Karl Marx lah yang lebih mendalamkan dan lebih menjalarkan teori-teori itu, sehingga “kaum melarat kepandaian yang berkeluh kesah itu” dengan gampang segera mengertinya.

Mereka dengan gampang mengerti, seolah-olah suatu soal yang “sudah mustinya begitu”-, segala seluk-beluknya harga lebih: bahwa kaum borjuis lekas menjadi kaya karena kaum proletar punya tenaga yang tak terbayar. Mereka dengan gampang mengerti seluk-beluknya Historis Materialisme: bahwa urusan rezekilah yang menentukan segala akal pikiran dan budi pekertinya riwayat dan manusia. Mereka dengan gampang mengerti seluk-beluknya dialektika: bahwa perlawanan klas adalah suatu keharusan riwayat, dan bahwa oleh karenanya, kapitalisme adalah “menggali sendiri liang kuburnya”.

Begitulah teori-teori yang dalam dan berat itu dengan gampang saja masuk di dalam keyakinan kaum yang merasakan stelsel (sistem, ed.) yang “diteorikan” itu, yakni di dalam keyakinannya kaum yang perutnya senantiasa keroncongan. sebagai tebaran benih yang ditebarkan oleh angin kemana-mana dan tumbuh pula dimana ia jatuh, maka benih Marxisme ini berakar dan subur bersulur dimana-mana. Benih yang ditebar-tebarkan di Eropa itu sebagian telah diterbangkan pula oleh taufan jaman ke arah khatulistiwa, terus ke Timur, jatuh di kanan kirinya sungai Sindu dan Gangga dan Yang Tse dan Hoang Ho, dan di kepulauan yang bernama kepulauan Indonesia.

Nasionalisme di dunia Timur itu lantas “berkawinlah” dengan Marxisme itu, menjadi satu nasionalisme baru, satu ilmu baru, satu itikad baru, satu senjata perjuangan yang baru, satu sikap hidup yang baru. Nasionalisme-baru inilah yang kini hidup di kalangan Rakyat Marhaen Indonesia.

Karena ini, Marhaen pun, pada hari 14 Maret 1933 itu, wajiblah berseru:

Bahagialah yang wafat 50 tahun berselang!

Fikiran Ea’jat, 1933

Soekarno dan Pergerakan Buruh


Sejarah gerakan pembebasan nasional di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan sejarah pergerakan buruh. Ketika perjuangan anti-kolonial mulai berbentuk gerakan politik massa, peranan gerakan buruh terbilang sangat besar. Kehadiran gerakan dan serikat buruh, seperti dicatat oleh Ruth Mc Vey, telah menandai perkembangan menakjubkan dari perkembangan situasi revolusioner di Indonesia.

Soekarno, salah satu tokoh paling cemerlang dan terkemuka saat itu, tidak bisa dipisahkan dengan gerakan buruh dan gerakan massa, terutama saat PKI telah dihilangkan oleh penindasan kolonial dalam panggung terbuka perjuangan pembebasan nasional. Soekarno, terutama setelah pidato Indonesia Menggugat yang begitu tajam dan terkenal itu, telah didaulat secara tidak langsung sebagai pemimpinnya gerakan massa. Bahkan, oleh Dr. Sutomo, salah satu tokoh gerakan nasional saat itu, Soekarno diletakkan sebagai motor, kekuatan penggerak dari seluruh barisan yang beraliran kiri.

Akan tetapi, kendati gerakan buruh telah menjadi elemen penting saat itu dan Soekarno juga punya peranan di situ, tetapi nama Soekarno tidak setenar nama seperti Semaun dan Soerjopranoto dalam gerakan buruh. Saat ini, misalnya, kita begitu akrab dengan gagasan Soekarno terkait dengan ide-ide perjuangan nasional, sedangkan soal gagasan perjuangan buruhnya kurang kedengaran.

Gagasan Soekarno Soal Gerakan Buruh

Soekarno sangat akrab dengan sosok-sosok pemimpin gerakan buruh di Eropa seperti Karl Kautsky, Ferdinand Lassalle, Sidney dan Beatrice Webb di Inggris, dsb. Sebagai seorang Marxist, Soekarno pun sangat akrab dengan berbagai aliran pemikiran sosialis dan komunis, mulai dari Pieter Troelstra di Belanda, Jean Jaures di Perancis, hingga Lenin, Stalin, dan Trotsky di Rusia.

Bukankah Soekarno pernah berkata, “Saya punya pikiran, saya punya mind terbang, meninggalkan alam kemiskinan ini, masuk di dalam “world of the mind”; berjumpa dengan orang-orang besar, dan bicara dengan orang-orang besar, bertukar pikiran dengan orang-orang besar.”

Setidaknya, dari berbagai tokoh tersebut, Soekarno memperoleh ide soal massa-actie dan machtvorming, termasuk dalam membangun gerakan serikat sekerja/serikat buruh. Dalam tulisan berjudul “bolehkan Sarekat sekerja berpolitik?”, Soekarno telah mengeritik habis-habisan tuan S (nama inisial, dalam harian pemandangan) yang menuntut gerakan serikat buruh tidak usah berpolitik. Dalam pandangan Soekarno, perjuangan politik bagi serikat buruh, paling tidak, adalah dimaksudkan untuk mempertahankan dan memperbaiki nasib politik kaum buruh, atau mempertahankan “politieke toestand”. Menurut Bung Karno, Politieke toestand sangat terkait dengan masa depan gerakan buruh, yaitu penciptaan syarat-syarat politik untuk tumbuh-suburnya gerakan buruh.

Lebih jauh lagi, Soekarno juga mengatakan, jika kaum buruh menginginkan kehidupan yang layak, naik upah, mengurangi tempo-kerja, dan menghilangkan ikatan-ikatan yang menindas, maka perjuangan kaum buruh harus bersifat ulet dan habis-habisan. Jika ingin merubah nasib, Soekarno telah berkata, kaum buruh harus menumpuk-numpukkan tenaganya dalam serikat sekerja, menumpuk-numpukkan machtvorming dalam serikat sekerja, dan membangkitkan kekuasaan politik di dalam perjuangan.

“Politik minta-minta satu kali akan berhasil, tetapi sembilan puluh sembilan kali niscaya akan gagal”, demikian dikatakan Soekarno saat mengeritik serikat sekerja yang hanya menuntut perbaikan nasib. Soekarno telah berkata, “politik meminta-minta tidak akan menghapuskan kenyataan antitesa antara modal dan kerja”.

Soekarno juga tidak lupa mengeritik Robert Owen, Louis Blanc, dan Ferdinand Lassalle, yang mana mereka dianggap menganjurkan perdamaian antara modal dan kerja. Karena itu, dalam tulisan Mencapai Indonesia Merdeka, Soekarno sudah menggaris-bawahi pentingnya kaum buruh dan rakyat Indonesia untuk menghancurkan stelsel (sistem) imperialisme dan kapitalisme.

Dalam hal alat politik, seperti juga kaum Leninis, Soekarno menganjurkan pendirian sebuah partai pelopor, sebuah partai yang konsekwen-radikal dan berdisiplin. Partai ini, seperti dikatakan Soekarno, harus merupakan partai yang kemauannya cocok dengan kemauan marhaen, partai yang segala-galanya cocok dengan natuur (alam), partai yang terpikul natuur dan memikul natuur. Sebuah partai yang merubah pergerakan rakyat itu dari onbewust menjadi bewust (sadar), demikian dikatakan Soekarno.

Hanya saja, dalam perjalanan menuju penghancuran stelsel imperialisme dan kapitalisme, Soekarno telah menganjurkan persatuan seluruh kekuatan nasional untuk menggulingkan penjajahan dan mencapai Indonesia merdeka. Sehingga, dalam praktek politik, Soekarno mengharuskan pergerakan buruh mensubordinasikan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional. Lenin pernah berkata, bahwa di negeri jajahan dan setengah jajahan, “secara objektif masih ada tugas-tugas nasional yang bersifat umum, yaitu tugas-tugas yang demokratis, tugas-tugas untuk menumbangkan penjajahan asing[i].

PNI dan Gerakan Buruh

Meskipun akrab dengan gerakan buruh, namun Soekarno sendiri tidak pernah menjabat sebagai ketua serikat buruh, seperti Semaun dan Suryopranoto saat itu. Tapi, Soekarno menaruh dukungan besar terhadap pergerakan buruh.

Partai Nasional Indonesia (PNI), partainya Soekarno, saat memandang gerakan massa sebagai komponen penting perjuangannya, telah menempatkan pengorganisiran kaum buruh sebagai aspek penting dalam perjuangan partai. Bersamaan dengan perayaan Ulang Tahun PNI, 4 Juli 1929, partai telah memutuskan untuk mengintensifkan propaganda di kalangan buruh. Untuk itu, PNI telah memperkuat pengaruhnya terhadap salah satu serikat buruh saat itu, yaitu Sarekat Kaoem Boeroeh Indonesia (SKBI).

Ketika SKBI mulai ditindas penguasa kolonial karena keterkaitannya dengan Liga Anti Kolonialisme, PNI tidak berhenti dalam mengorganisir dan memperluas pengaruhnya di kalangan buruh. Pada bulan Juli hingga Agustus, PNI kembali mengorganisir beberapa serikat buruh di berbagai kota besar di Indonesia. Di Bandung, PNI mendirikan Persatoean Chauffeurs Indonesia, yang kemudian berganti nama menjadi “Persatoen Motorist Indonesia”-(PMI). Di Tanjung Priok, telah berdiri Sarikat Anak Kapal Indonesia (SAKI); di Surabaya berdiri Persatoean Djongos Indonesia (PDI) dan Persatoen Boeroeh Oost Java Stoomstram Mij (OJS-Bond Indonesia).

Paska kemerdekaan, meskipun PNI telah mensubordinasikan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional, namun mereka tetap tidak meninggalkan gerakan buruh. Pada tahun 1952, PNI telah mendirikan Konsentrasi Buruh Kerakyatan Indonesia (KBKI), yang haluan politiknya adalah menuntaskan perjuangan nasional. Dua tahun kemudian, 1954, KBKI berganti nama menjadi Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia.

Marhaenisme dan Proletar

Marhaen, kata Bung Karno, adalah kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain, misalnya kaum dagang kecil, kaum ngarit, kaum tukang kaleng, kaum grobag, kaum nelayan, dan lain-lain. Meski Soekarno tidak menggunakan istilah proletar, tetapi pada dasarnya dia mengakui kebenaran dari faham proletar, khususnya yang berkaitan dengan ajaran Marx ini. Soekarno sendiri tidak menutupi, bahwa bagian terbesar dari perjuangan kaum marhaen ini adalah kaum proletar.

Tapi, menurut Soekarno, ada perbedaan “keadaan” antara Eropa dan disini, Indonesia. Di Eropa, kapitalisme terutama sekali adalah kepabrikan, sedangkan di Indonesia masih bersifat pertanian. Selain itu, menurut Soekarno, kapitalisme di eropa bersifat “zuivere industri” (murni industri), sedangkan di sini sebanyak 75% berasal dari onderneming (perusahaan) gula, teh, tembakau, karet, kina, dsb. Ini, kata Soekarno, menghasilkan perbedaan; di eropa, hasil kapitalisme terutama sekali adalah proletar 100%, sedangkan di Indonesia melahirkan kaum tani yang melarat dan papa.

Meskipun kapitalisme mengacu pada 75% industri pertanian, tetapi Soekarno tidak menutupi kebenaran pendirian, bahwa proletar harus menjadi pembawa panji-panji. Soekarno telah berkata, “Nah, tentara kita adalah benar tentaranya marhaen, tentaranya kelas marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaga kaum tani, tetapi barisan pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum proletar”.

Marhaenisme tidak bermaksud menganulis teori kelas, malah berusaha menerapkan penggunaan teori kelas dalam konteks dan karakteristik Indonesia, seperti yang telah dijelaskan Soekarno di atas. Ini bukan versi baru bagi penganut marxisme di negeri dunia ketiga. Di Amerika Latin terdapat nama José Carlos Mariátegui, yang telah berusaha mengembangkan Marxisme dalam konteks setempat, dan mulai membuang aspek eropa-sentisnya. “Eropa Barat memiliki Sosial-Demokrasi; Rusia memiliki Komunisme; Tiongkok San Min Cu I; India mempunya Gandhiisme; marilah kita di Indonesia mempropagandakan kita punya Marhaenisme!” demikian dikatakan Soekarno.

Justru, dalam konteks sekarang ini, marhaenisme justru bisa dipergunakan sebagai salah satu alat analisis kelas versi Indonesia, asalkan dikembangkan dan sesuaikan dengan konteks saat ini. Sebagai missal, perkembangan sektor informal yang sudah mencapai lebih dari 70%, memaksa kita untuk menggunakan teori kelas secara kontekstual.

Walaupun Soekarno mengakui teori perjuangan kelas, namun ia selalu berusaha memperkokoh jiwa bangsa tidak sebagai kesadaran kelas, seperti yang biasa terdapat dalam gerakan buruh, tapi sebagai kesadaran bangsa, kesadaran untuk mencapai tujuan nasional. Bagi Soekarno, dalam tahap negeri kolonial, pertentangan-pertentangan kelas itu menjadi searah dengan pertentangan nasional.

Ini patut dimaklumi, sebab situasi tempat Soekarno membangun teorinya, salah satunya, karena baru saja menyaksikan perpecahan tajam di kalangan pergerakan, terutama perseteruan tajam antara kaum Marxist versus islam. Perpecahan hanya akan memperkuat kekuatan musuh, sedangkan barisan kita akan goyah.

Ajaran-ajaran Bung Karno untuk perjuangan rakyat miskin, kaum marhaen dan proletar

Sejak tanggal 8 Juli 2010 di berbagai suratkabar dan televisi di Indonesia diberitakan adanya aksi-aksi unjuk rasa yang diadakan berbagai kalangan masyarakat mengenai nasib rakyat miskin di Indonesia kita ini.



Semua orang yang betul-betul prihatin terhadap situasi bangsa dan negara kita dewasa ini pastilah akan menghargai aksi-aksi yang digelar di banyak kota di Indonesia, yang menuntut kepada semua fihak untuk memperhatikan keadaan puluhan juta rakyat miskin – dan setengah miskin –yang berjumlah puluhan juta, bahkan mendekati 100 juta jiwa.

Kiranya, kita patut memberi salut setinggi-tingginya kepada semua kalangan dari berbagai golongan masyarakat, tidak peduli dari organisasi kemasyarakatan apapun, dan dari aliran politik yang manapun, atau agama apa pun, yang dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, dan tulus serta jujur, sudah melakukan macam-macam kegiatan sosial atau perjuangan politik untuk membela kepentingan rakyat miskin pada umumnya, termasuk golongan marhaen dan proletar.

Terutama kepada kalangan pemuda, mahasiswa, penganggur, perempuan miskin, serta golongan rakyat miskin lainnya yang dengan susah-payah¸ dan dalam kehidupan sehari-hari yang sudah serba sulit karena berbagai penderitaan, masih secara sukarela menyediakan tenaga, waktu, dan fikiran untuk bersama-sama berjuang demi kepentingan rakyat miskin umumnya, yang jumlahnya puluhan juta orang.

Mempersoalkan nasib rakyat miskin adalah perlu sekali

Kalau kita ingat bahwa kalangan luas elit bangsa sudah begitu rusak moralnya atau begitu bejat akhlaknya, dan secara beramai-ramai bergelimang dengan harta haram dari hasil korupsi dan berbagai macam kejahatan dalam merampok atau menjarah harta negara dan rakyat lainnya maka aksi-aksi untuk membela rakyat miskin ini adalah kegiatan yang sungguh penting bagi bangsa secara keseluruhan.

Ketika kalangan atas (pemerintahan, DPR dan partai-partai politik) melakukan kongkalikong soal skandal besar bank Centuty yang menyangkut dana Rp 6, 7 triliun, atau ketika heboh soal pajak perusahaan Aburizal Bakri (Rp2, 4 triliun) tak tentu arahnya, atau ketika kasus korupsi besar-besaran para petinggi POLRI masih terus diusut, atau ketika kasus-kasus hakim dan jaksa yang menyangkut ratusan milyar rupiah juga masih banyak yang belum terbongkar, maka mempersoalakan penderitaan orang miskin jang puluhan juta jumlahnya itu adalah satu hal yang perlu dan baik sekali.

Sebab, berdasarkan angka-angka resmi pemerintah (BPS, menurut Kominfo-Newsroom) ) jumlah rakyat miskin dalam bulan Maret 2010 adalah sebesar 31,02 juta jiwa (13,33%). Walaupun ada banyak kalangan yang tidak mempercayai sepenuhya angka-angka BPS ini (sebab ada yang mengatakan bahwa angka seluruh rakyat miskin yang sebenarnya adalah mendekati 40 juta jiwa) namun jumlah 31 juta jiwa orang miskin nyatanya sudahlah besar sekali!

Menurut angka-angka resmi itu persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan pada Maret 2009 sekitar 63,38 persen penduduk miskin berada di daerah perdesaan,

Berdasarkan pengalaman selama berpuluh-puluh tahun sejak pemerintahan Orde Baru sampai sekarang jumlah rakyat miskin masih tetap terus tinggi dari tahun ke tahun. Dan sekarang pun tidak bisa diharapkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia akan bisa berkurang dalammasa dekat. Bahkan sebaliknya !!! Dengan adanya berbagai krisis ekonomi atau keuangan di dunia, yang mengakibatkan memburuknya situasi ekonomi Indonesia juga, maka jumlah orang miskin di negeri kita masih akan tetap tinggi, kalau tidak makin meningkat!

Penduduk Indonesia sekarang sudah 238 juta jiwa

Untuk bisa membayangkan betapa besar persoalan yang dihadapi negara dan bangsa kita baiklah kita ketahui bahwa Sensus Penduduk 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sekitar 238 juta jiwa. Ini berarti bahwa jumlah penduduk negara kita adalah nomor ke-4 di dunia, sesudah China, India dan Amerika Serikat. Dalam kurun sepuluh tahun terakhir jumlah anak bangsa bertambah sekitar 35 juta orang. Atau, saban tahun, pertambahan penduduk Indonesia setara dengan jumlah penduduk Singapura. Dalam tahun 2100 bukan tidak mungkin bahwa jumlah orang yang mendiami negeri ini mencapai 1 miliar.

Perlu kita catat bahwa 60% penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa yang luasnya hanya 10% dari total luas Indonesia. Komposisi tersebut tidak akan berubah jika dibandingkan dengan kondisi 40 tahun lalu, bahkan mungkin juga dalam beberapa puluh tahun lagi di masa datang.

Dari sudut pandang ini pulalah kita perlu melihat pentingnya segala aksi, segala kegiatan atau segala macam perjuangan yang berkaitan dengan tujuan untuk membebaskan rakyat miskin kita yang sekarang berjumlah puluhan juta dari segala macam penderitaan berkepanjangan. Dan lebih penting lagi, kalau kita ingat bahwa masalah rakyat miskin ini akan masih tetap menjadi persoalan besar bagi bangsa selama beberapa puluh tahun lagi di masa datang.

Rakyat miskin kita yang puluhan juta ini, terdiri dari macam-macam kalangan dan golongan dari berbagai suku, agama, faham politik atau aliran fikiran, yang tersebar di seluruh Indonesia dan terutama sekali di pulau Jawa. Umumnya, mereka itu merupakan “kelas bawah” yang menjadi korban segala macam penindasan, pemerasan, perampokan, penjarahan, dari kalangan atas bangsa sendiri, atau juga merupakan korban rejim militer Orde Baru, dan sekarang ini korban dari politik pro neo-liberalisme yang dijalankan oleh berbagai pemerintahan.

Kelas bawah tidak boleh ilusi terhadap kelas atasan

Kelas bawah yang terdiri dari rakyat miskin yang jumlahnya besar itu tidak bisa (dan juga tidak boleh !!!) mengharapkan adanya pembebasan dari segala macam penderitaan, hanya dari “kemauan baik”, atau “murah hati”, atau janji-janji yang muluk-muluk para pemimpîn atau tokoh-tokoh di pemerintahan, DPR, partai-partai politik, yang sudah puluhan tahun digembar-gemborkan terus-menerus dengan berbagai jalan dan cara. Sekarang sudah makin jelas dan banyak terbukti, bahwa mereka itu sambil berkaok-kaok setinggi langit atas nama “kepentingan rakyat”, atau demi “kesejahteraan rakyat”, sedang mencuri harta rakyat dan negara secara besar-besaran.

Kerusakan moral, atau kebejatan akhlak di kalangan atas, baik di kalangan pemerintahan ataupun di kalangan masyarakat (temasuk di kalangan pemuka-pemuka agama) sudah sedemikian besarnya dan parahnya, sehingga banyak sekali orang dari berbagai kalangan dan golongan yang tidak punya harapan lagi bahwa masalah rakyat miskin dapat merek a pecahkan dengan baik. Tidak sekarang ini, dan juga tidak di masa datang, mungkin sampai puluhan tahun lagi !!! Harapan bahwa akan bisa ada perobahan besar-besaran dari atas atau perbaikan fundamenal oleh kalangan atas adalah hanyalah omong-kosong atau hanya ilusi yang harus dicampakkan jauh-jauh.

Perlulah kiranya ditegaskan lagi berulang-ulang bahwa perubahan yang benar-benar menguntungkan kepentingan rakyat tidak bisa diciptakan oleh kalangan atas (baik sipil maupun militer, termasuk swasta) yang memerintah atau menguasai kehidupan negara dan bangsa. Dan keadaan yang demikian itu jugalah yang kita saksikan dewasa ini, dengan apa yang terjadi di masa pemerintahan SBY.

Oleh karena itu, sekarang makin jelas bahwa perubahan mendasar dan besar-besaran hanya bisa diharapkan dari kalangan bawah, atau bersama-sama kalangan bawah, atau oleh kalangan bawah, yang bersatu dengan dengan kekuatan-kekuatan lainnya yang sungguh-sungguh pro rakyat. Sebab, justru kalangan bawahlah yang paling berkepentingan dengan adanya perubahan-perubahan besar dan fundamental. Bukan kalangan atas, yang sebaliknya, malahan menghambat atau mencegah adanya perubahan-perubahan besar dan fundamenaL

Kelas bawah adalah sumber dan pendorong perubahan

Karena kalangan bawahlah yang paling memerlukan adanya perubahan besar-besaran dan fundamental demi perbaikan hidup dan pembebasan dari penderitaan, maka mereka bisa merupakan pendorong utama dalam segala aksi atau kegiatan untuk perubahan ini. Dengan kalimat lain bisalah kiranya dikatakan bahwa kalangan bawah (yang sebagian terbesar terdiri dari rakyat miskin) bisa menjadi kekuatan pokok dari perjuangan. Berbagai penderitaan rakyat miskin adalah sumber kekuatan dan sumber inspirasi revolusioner untuk perubahan, baik untuk dewasa ini maupun di masa yang akan datang.

Oleh karena kondisi sosial ekonomis rakyat miskin pada umumnya sangatlah minim, dan banyak yang terpaksa hidup serba kekurangan dalam banyak hal (pendidikan, kesehatan, pangan dll) maka sungguh-sungguh merupakan hal yang patut kita hargai dan juga kita hormati, bahwa mereka masih mau melakukan kegiatan-kegiatan atau berjuang. Sebab, kalau dilihat dari pandangan yang jauh, aksi-aksi atau kegiatan mereka itu tidaklah hanya untuk kepentingan mereka sendiri, melainkan untuk negara dan bangsa juga.

Aksi-aksi atau berbagai kegiatan untuk menyuarakan aspirasi rakyat miskin yang diadakan di berbagai kota di Indonesia baru-baru ini, merupakan cambuk kepada kita semua, untuk mengingatkan bahwa di tengah-tengah heboh karena banyaknya pejabat-pejabat yang menjadi penjahat, serta bergelimangnya kalangan atas dengan bermacam-macam harta haram, maka masih ada lebih dari 30 juta rakyat kita yang miskin dan hidup sengsara. Aksi-aksi atau berbagai kegiatan yang berkaitan dengan perjuangan rakyat miskin ini sebenarnya merupakan sumbangan besar bagi pendidikan politik yang penting dan berharga untuk kita semua. Ini menunjukkan, dan dengan jelas pula, bahwa politik berbagai pemerintahan kita selama ini lebih banyak menguntungkan kalangan atas — yang umumnya sudah kaya — dan berbagai gologan reaksioner yang tidak mempedulikan nasib rakyat.

Perjuangan rakyat miskin perlu kita bantu sebesar-besarnya

Karena itu, adanya berbagai kalangan dari golongan pemuda, mahasiswa, perempuan, pekerja, penganggur, yang ikut menyatukan diri dalam perjuangan rakyat miskin adalah suatu hal yang amat penting bagi tumbuhnya kekuatan rakyat miskin sebagai bagian yang utama dari pendorong perubahan besar dan fundamental di negeri kita. Ikut sertanya berbagai golongan dalam perjuangan rakyat miskin kita patutlah disambut dengan gembira dan dibantu sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya oleh seluruh lapisan masyarakat, yang menginginkan juga adanya perubahan-perubahan besar dan fundamental.

Kita semua perlu memberikan bantuan – dengan segala cara dan bentuk – kepada mereka (terutama yang dari kalangan muda, mahasiswa, atau perempuan) yang telah terjun berjuang bersama-sama dengan rakyat miskin. Sebab, kita bisa mengetahui bahwa kebanyakan dari mereka itu sudah hidup dalam kekurangan juga. Karena itu, pengorbanan mereka sungguh besar sekali ! Dari sinilah kelihatan benar besarnya perbedaan dengan sikap kebanyakan kelas atas atau orang-orang reaksioner dan kaya, yang masih getol menumpuk kekayaan haram dari pemerasan terhadap rakyat banyak.

Mengingat itu semua, maka makin jelaslah bagi kita sekarang ini, bahwa nasib rakyat miskin yang jumlahnya lebih dari 30 juta (dan sekitar 100 juta kalau dengan yang setengah miskin) tidak bisa diubah oleh pemerintahan-pemerintahan yang menjalankan berbagai politik type Orde Baru dan penerus-penerusnya sampai sekarang. Sebab, berbagai pemerintahan dengan sistem politik yang seperti sekarang ini, akan tetap terus menimbulkan persoalan-persoalan yang membikin sengsaranya rakyat dan hanya menguntungkan kelas penghisap yang reaksioner, yang kebanyakan bejat moralnya dan yang busuk akhlaknya, seperti yang bisa kita saksikan bersama dewasa ini.

Dengan tokoh-tokoh seperti yang sekarang menguasai kehidupan negara dan pemerintahan, — termasuk DPR dan berbagai lembaga atau partai politik (yang tergabung dalam komplotan Setgab Koalisi) — maka mustahillah akan adanya perubahan-perubahan besar dan fundamental yang menguntungkan rakyat banyak. Karena, mereka akan menentang — dengan segala jalan dan cara — adanya perubahan besar-besaran dan fundamental yang hanya akan merugikan kepentingan mereka sendiri. Yang banyak mereka lakukan hanyalah rhetorika yang bagus-bagus dan muluk-muluk untuk menutupi segala macam kejahatan mereka terhadap kepentingan bangsa dan rakyat.

Partai-partai politik reaksioner “membeli” suara rakyat miskin

Sekarang makin jelas bagi kita semua, bahwa rakyat miskin dan setengah miskin di negeri kita, yang jumlahnya mendekati 100 juta jiwa itu merupakan salah satu di antara berbagai faktor penting dalam perjuangan perebutan pengaruh dalam kehidupan politik di negeri kita. Oleh karena itu, berbagai partai politik telah, sedang dan akan terus mengadakan segala macam usaha untuk “membeli” suara rakyat (termasuk rakyat miskin) dalam berbagai pemilu, dengan uang, sembako, pembagian hadiah yang macam-macam, serta janji-janji muluk-muluk yang sering disertai dengan berbagai sumpah dll.

Menurut pengalaman yang sudah-sudah, tidak sedikit dari rakyat miskin yang dapat “dibeli” oleh kekuatan-kekuatan reaksioner ini karena besarnya dana yang bisa mereka gunakan untuk “merebut hati” rakyat, terutama mereka yang dalam keadaan serba kekurangan. Kita sudah sering mendengar bahwa kebanyakan partai-partai politik yang ikut pemilu harus mengeluarkan beaya yang besar sekali bahkan sampai triliunan rupiah. Kiranya, sudah jelas bahwa dana yang besar-besar itu tidak mungkin mereka peroleh hanya dari iuran anggota atau hanya merupakan sumbangan sukarela dari para simpatisan., melainkan terutama sekali dari segala macam sumber gelap dan haram.

Tujuan perjuangan rakyat miskin, yang umumnya digerakkan dari bawah oleh dan bersama-sama berbagai aktivis dalam keadaan yang serba sulit, adalah sama sekali berlainan, bahkan, sangat bertentangan dengan tujuan kebanyakan partai yang ikut pemilu 2009. Kalau partai-partai yang ikut pemilu 2009 itu berusaha dengan segala cara dan jalan (termasuk komplotan yang berbentuk koalisi atau konfederasi) untuk mengkonsolidasi kekuasaan mereka, maka perjuangan rakyat miskin justru bertujuan untuk mengadakan perubahan-perubahan besar dan fundamental dalam kekuasaan ini sehingga bisa menjadi kekuasaan politik yang benar-benar pro-rakyat.

Ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno pedoman penting untuk perjuangan

Untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam kekuasaan politik yang sudah berlangsung puluhan tahun sejak rejim militer Orde Baru tidak ada jalan lain, dan juga tidak ada cara-cara lain, kecuali mentrapkan inti ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno. Ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno pada pokoknya menganjurkan atau mengajak seluruh bangsa untuk terus-menerus menggerakkan dan mengkobarkan revolusi, dan melawan segala macam pemerasan dan penindasan terhadap rakyat oleh segala kekuatan reaksioner dalam negeri maupun luar negeri.

Sepanjang sejarah bangsa Indonesia sampai sekarang, ajaran-ajaran Bung Karno adalah satu-satunya fikiran besar untuk dipakai sebagai pedoman perjuangan rakyat, yang sari patinya masih sangat relevan untuk digunakan menanggulangi masalah-masalah besar yang dihadapi bangsa dan negara dewasa ini. Ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno adalah pedoman moral di bidang politik dan petunjuk atau pembimbing dalam perjuangan revolusioner

Ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno adalah gudang yang sangat kaya dengan berbagai pedoman besar bagi semua kekuatan yang berjuang untuk kepentingan rakyat miskin, bagi wong cilik, bagi kaum marhaen, bagi kaum proletar dan bagi rakyat banyak lainnnya. Ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno adalah petunjuk bagi kita semua untuk menyelesaikan revolusi bangsa Indonesia yang belum selesai.

Perbedaan Komunis Dengan Sosdem

Sebagaimana sudah kita tulis di Fikiran Ra’jat nomor percontohan tentang sebab-sebabnya kemelaratan yang diderita oleh kaum Buruh ialah stelsel kapitalisme itu, maka di nomor ini kita akan terangkan bahwa di antara beberapa cara untuk melenyapkan stelsel kapitalisme atau kapital itu terutama dua cara yang perlu kita ketahui. Kedua faham dan cara yang mempunyai pengikut berjuta-juta kaum buruh ialah faham kaum sosial-demokrat dan fahamnya kaum komunis.

Banyak aliran-aliran lain yang juga berdasarkan ilmu sosialisme, aliran-aliran yang menentang kapitalisme dan imperialisme. Tetapi oleh karena lain-lain aliran sosialistis itu tidak begitu besar artinya di dalam perjuangan kaum buruh untuk menuntut perbaikan nasibnya, maka kita hanya mengupas sosial-demokrat dan komunis saja, kedua faham yang di dunia politik Indonesia umumnya tidak asing lagi.

Kedua faham atau isme ini di dalam hakikatnya tidak mengandung perbedaan satu sama lain, oleh karena kedua isme ini berdiri di atas faham sosialisme atau lebih tegas lagi: berdiri di atas faham Marxisme. Kedua faham adalah mengaku menjadi pengikut Marx.

Sebagaimana kapitalisme sendiri adalah sebuah faham yang mempunyai beberapa aliran, aliran-aliran mana mempunyai isme-isme sendiri yang semuanya itu bersendar di atas faham kapitalisme, maka sosialisme sebagai hasilnya kapitalisme, juga mempunyai beberapa aliran.

Di dalam faham sosialisme itu termasuk juga syndikalisme dan anarkisme, kedua faham yang di halaman Fikiran Ra’jat No. 2 kita akan kupas.

Sesudah kapitalisme itu melahirkan faham-faham baru, yang bertentangan sekali dengan faham-faham yang hidup di zaman feodalisme, maka anggapan pemandangan dan pikiran rakyat di dalam sesuatu masyarakat itu dapat maju, jika tiap-tiap orang di dalam masyarakat itu hanya mempunyai kemerdekaan untuk berusaha dan berdagang, mempunyai kemerdekaan dalam pemilikan dan kemerdekaan mengadakan perjanjian-perjanjan, di dalam praktiknya ternyata tidak betul. Justru oleh karena kemerdekaan itulah maka kapitalisme makin deras, sehingga kemelaratan lebih hebat, kesengsaraan masuk di desa-dsa di rumahnya bapak tani, menghinggapi rumah tangganya kaum pedagang dan pertukangan kecil-kecil. Oleh karena kemerdekaan itu maka nasib Rakyat menjadi nasib proletar: oleh karena kemerdekaan itu maka di satu pihak timbul kelas kapitalisme dan di lain pihak timbul kelas proletar. Kelak kaum proletar ini tidak mempunyai kekuasaan sama sekali atas alat-alat pembuatan barang-barang di pabrik-pabrik dan di-onderneming-onderneming.

Sesudah kapitalisme tua disokong oleh tenaga mesin-mesin menjadi kapitalisme modern, maka nasibnya kaum proletar itu makin jelek.

Kesengsaraan dan kesedihan yang diderita sehari-hari oleh kaum buruh tentulah melahirkan cita-cita dan harapan untuk menyelamatkan pergaulan hidup manusia yang bobrok. Cita-cita dan harapan melenyapkan kemiskinan dan kebobrokan di dalam masyarakat itu melahirkan faham sosialisme yang mengajarkan kepada pengukut-pengikutnya bahwa agar supaya pergaulan hidup bisa selamat susunannya harus bersendikan di atas aturan-aturan sosialistis. Mereka yang memiliki faham itu dinamakan kaum Sosialis.

Mula-mula mereka ini belum terang betul bagaimanakah caranya stelsel kapitalisme ini harus dilenyapkan. Mereka masih membayangkan saja. Penganjur-penganjurnya belum mendapat jalan yang terang untuk menyelamatkan pergaulan hidup. Mereka masih menghayal tentang pergaulan hidup yang selamat ialah pergaulan hidup yang tidak mengenal kesengsaraan. Kaum sosialis yang mendasarkan “teorinya” ini atas khayalan belaka itu dinamakan kaum “sosialis-utopis” (Robert Owen, Saint Simon dll).

Tetapi lambat laun mereka itu makin sadar bahwa teori yang bersandar kepada utopi itu adalah teori yang tidak dapat memberi senjata untuk membasmi kepitalisme itu dengan akar-akarnya.

Teori yang dapat menyadarkan kaum proletar tentang kedudukannya di dalam masyarakat itu ialah hanya teori yang berdasar wetenschap, ialah teori yang hasilnya jadi ilmu, penyelidikan dan pengupasan yang dalam dan luas. Teori yang berdasarkan wetenschap itu dinamakan wetenschapppelijk—schapppelijk-sosialisme, lawannya utopistis-sosialisme. Watenschapppelijk-Sosialieme bukan sosialisme khayalan, tetapi sosialisme perhitungan.

Watenschapppelijk-sosialisme itu lahir di dunia sesudah pendekar kaum proletar yang terbesar, Karl Marx mempropagandakan teorinya, bagaimanakah harusnya perjuangan kaum buruh itu untuk menuju ke dunia sosialisme.

Setelah Karl Marx mengadakan penyelidikan sedalam-dalamnya tentang akar-akarnya kapitalisme yang kebutuhannya selalu bertentangan dengan kebutuhannya kaum buruh, maka Marx mengajarkan bahwa yang dapat menjungjung derajat kaum buruh itu ialah kaum buruh sendiri. Maka dari itu kaum proletar ini harus disusun di dalam satu organisasi yang menyadarkan mereka tentang nasibnya dan oleh karena itu keharusan mereka berjuang melenyapkan segala rintangan yang menentang usaha mereka menuju ke jaman sosialisme itu. Karl Marx adalah “bapaknya” dari kaum proletar.

Sebagaimana Marxisme itu adalah teorinya pergerakan kaum buruh di Eropa, Marhaenisme itu adalah teorinya kaum Marhaen di Indonesia. Teori Marhaenisme yang terkenal adalah meerwaarde-teori, ialah mengajarkan bahwa sesuatu barang itu karena tenaga kaum buruh menjadi tambah harganya. Misalnya besi yang berharga f 500—, oleh tenaga kaum buruh dibuat menjadi mesin yang berharga f 2500—. Pertambahan harga adalah f 2000—. Tetapi f 2000— ini tidak jatuh ke tangan kaum buruh (mereka menerima sedikit sekali) tetapi di tangan kaum pemodal sendiri, dan dipakainya untuk menambah besarnya modal, karena itu maka modal itu mempunyai watak melembungkan badannya, artinya kaum pemodal itu senantiasa mempunyai watak membesar-besarkan modalnya. Teorinya yang lain, yang juga termasyur ialah “Fase Teori”, atau “Evolusi-Teori”, ialah teori yang mengajarkan arahnya perubahan dari tiap-tiap pergaulan hidup manusia yang juga menjadi sebab perubahan fahamnya, anggapan dan pikiran rakyat.

Fase-teori mengajarkan bahwa masyarakat itu di jaman purbakala adalah Ur-komunistis, artinya pergaulan hidup manusia di jaman purbakala itu diatur menurut cara tidak ada ningrat-ningratan atau kelas-kelasan. Sesudah jaman ur-komunisme ini lalu, lantas lahirlah jaman feodal. Sendi dasarnya pergaulan hidup jadi feodalistis, yakni masyarakat terbagi dalam kelas raja, ningrat dan “hamba”. Habis fase feodal ini tumbul fase kapitalisme. Mula-mula jaman voor-kapitalisme dan kemudian jadi modern kapitalisme. Jaman kapitalisme ini menuju ke fase-sosialisme. Fase-teori ini dianut oleh kaum sosial-demokrat dan juga oleh kaum komunis. Kedua aliran yang besar ini mula-mula berjuang bersama-sama di bawah “pimpinannya” Karl Marx.

Sekarang orang tanya mengapa kaum sosialis yang bersendi atas Marxisme itu terpecah menjadi dua aliran atau sayap yang menimbulkan faham sendiri-sendiri?

Pada tahun 1889 sampai tahun 1914 kedua sayap ini diikat oleh satu badan yang bernama Tweede-Internationale atau di dalam bahasa Indonesia: Internasional-Kedua. Tetapi dalam tahun 1914 persatuan partai kaum buruh ini terpecah menjadi dua aliran: sayap yang satu memisahkan diri menjadi sosial-demokrat dan sayap yang lain menamakan dirinya kaum komunis. Perpecahan itu terjadi oleh karena kedua sayap ini tidak bisa akur pendiriannya satu sama lain tentang mufakat atau tidaknya kaum proletar terutama di negeri-negeri kapitalis turut menyokong peperangan dunia di tahun 1914. Kaum sosial-demokrat suka menyokong peperangan dunia itu, tetapi kaum komunis sama sekali anti peperangan. Kaum sosial-demokrat berpendapat bahwa kaum proletar harus turut menyokong pemerintahan dalam negeri “verdedigings-oorlog jika ada musuh menyerang negerinya.

Kaum komunis mendirikan Internasionale sendiri ialah: “Derde-Internasionale” ialah Internasional-Ketiga di Moskow di bulan Maret 1919. Pemimpin-pemimpin terbesar dari kaum komunis ialah Lenin, Trotsky dan Zinoview mengajarkan bahwa pergaulan hidup manusia tidak harus tumbuh sebagaimana sudah digambarkan di dalam teori-teorinya Karl-Marx, tetapi pergaulan hidup dapat mengadakan fase-sprong, artinya bahwa masyarakat yang masih berada di dalam fase feodal itu tidak harus melalui zaman kapitalisme lebih dulu untuk menuju ke jaman sosialisme.

Dus pergaulan hidup Rusia yang masih feodal itu bisa terus masuk jaman sosialisme, zonder menginjak fase jaman kapitalisme dulu, asal saja cukup alat-alatnya. Teori yang demikian ini dinamakan teori fase-sprong.

Kaum sosial-demokrat membantah teori fase-sprong ini. Oleh sosial-demokrat fase-sprong ini disebutkan anti-Marxisme. Mereka mengajarkan bahwa tiap-tiap pergaulan hidup itu harus tumbuh menurut wet-wet-nya alam. Karl Kautsky, pemimpinnya sosial-demokrat berkata bahwa wet-evolusi—fase teori—yang digambarkan oleh Marx itu harus tunduk. Sosial-demokrat berkata: “Marx bilang, bahwa masyarakat bergerak melalui beberapa fase, yakni melalui beberapa tingkat. Dulu fase ur-komunisme, kemudian fase feodal (ningrat-ningratan), kemudian fase modern-kapitalisme, kemudian fase sosialisme. Tiap-tiap fase harus dilalui. Sesudah fase ur-komunis tidak boleh tidak tentu fase feodal. Sesudah fase feodal tidak boleh tidak tentu fase voor-kapitalisme; dan begitu seterusnya. Dus masyarakat tidak bisa melompati sesuatu fase. Misalnya naik kereta api dari Bandung ke Jakarta harus melalui Cimahi, kemudian Padalarang, kemudian Purwakarta, kemudian Cikampek, kemuduan Kerawang, kemudian Jakarta. Mau-tidak-mau semua tempat itu harus dilalui oleh kereta api itu. Tidak bisa dari Cimahi sekonyong-konyong Purwakarta, dengan melompati Purwakarta, dengan melampaui Padalarang itu dengan secepat-cepatnya, melompati Padalarang kita tidak bisa. “Begitu pula dalam kita masuk ke fase sosialisme. Kapitalisme tidak boleh tidak harus dilewati. Bagian kita ialah melewati fase kapitalisme itu dengan secepat-cepatnya, supaya bisa selekas-lekasnya diganti fase sosialisme!”—begitulah kaum sosial demokrat berkata sebagai bantahan atas sikap kaum komunis yang dari feodalisme (masyarakat Rusia masih 60% feodalisme) ujung-ujung masuk ke fase sosialisme.

Perbedaan yang kedua ialah bahwa tiap-tiap orang—menurut kaum sosial-demokrat—yang hidup di dalam suatu masyarakat itu adalah jadi anggota masyarakat itu dan oleh karena itu ia berhak mengeluarkan pikirannya, kemauannya dan cita-citanya tentang cara-cara masyarakat itu diatur. Dus dengan lain perkataan pergaulan hidup itu harus diatur secara demokratis. Tetapi kaum komunis mengajarkan bahwa demokrasi itu di dalam hakikatnya tidak memberi kemerdekaan kepada Rakyat. Di dalam praktiknya, kata mereka, demokrasi itu tidak ada. Dan jika demokrasi ini ada, kerakyatan itu tidaklah dapat memberi hak-hak kepada Rakyat untuk mengatur pergaulan hidup. Dus demokrasi itu adalah perkataan kosong belaka. Kaum komunis oleh karena itu tidak mufakat dengan demokrasi itu tetapi mengajarkan bahwa hanyalah “diktator-proletariat” saja (artinya bahwa hanya kaum proletar saja yang mempunyai suara) yang dapat memberi kekuasaan hidup manusia itu bagi keselamatan masyarakat. Diktator-proletariat itu adalah suatu alat untuk mendatangkan pergaulan hidup sosialistis—begitulah kaum komunis berkata. Di dalam diktator-proletariat ini, maka orang-orang yang bukan proletar tidak boleh ikut bersuara. Orang-orang yang bukan proletar tidak diberi stem di dalam pemerintahan negeri.

Inilah perbedaan antara sosial-demokrasi dan komunis tentang asas, yakni dua berpedaan yang fundamental. Untuk kali ini cukuplah sekian saja. Masih banyak lagi berbedaan-perbedaan yang lain. Tetapi untuk sekarang sekian saja.

Eropa Barat memiliki Sosial-Demokrasi; Rusia memiliki Komunisme; Tiongkok San Min Cu I; India mempunya Gandhiisme; marilah kita di Indonesia mempropagandakan kita punya Marhaenisme!

————————————————————————————————————–

(Fikiran Ra’jat No. 2 memuat pengupasan tentang faham syndikalisme dan anarkisme).
Fikiran Ra’jat, 1 Juli 1932 Nomor 1, hal. 9—12.

Kapitalisme Bangsa Sendiri?

Dalam suatu rapat umum saya pernah berkata, bahwa kita bukan saja harus menentang kapitalisme asing, tetapi harus juga menentang kapitalisme bangsa sendiri. Hal ini telah mendapat pembicaraan di dalam pers, dan saya pun mendapat beberapa surat yang minta hal ini diterangkan sekali lagi dengan singkat.



Dengan segala senang hati saya memenuhi permintaan-permintaan itu. Sebab soal ini adalah soal yang mengenai beginsel. Beginsel, yang harus dan musti kita perhatikan, jikalau kita mengabdi kepada rakyat dengan sebenar-benarnya, dan ingin membawa rakyat ke arah keselamatannya.

Supaya buat pembaca soal ini menjadi terang, dan supaya pembicaraan kita bisa tajam garis-garisnya, maka perlulah lebih dulu kita menjawab pertanyaan:

Apakah kapitalisme itu?

Didalam saya punya buku pembelaan saya pernah menjawab: kapitalisme adalah stelsel pergaulan hidup, yang timbul daripada cara produksi yang memisakan kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme adalah timbul dari ini cara produksi, yang oleh karenanya, menjadi sebabnya meerwaarde tidak jatuh di dalam tangannya kaum buruh melainkan jatuh di dalam tangannya kaum majikan. Kapitalisme, oleh karenanya pula, adalah menyebabkan kapitaalaccumulatie, kapitaal-concentratie, kapitaalcentralisatie, dan industrieel reserve armee. Kapitalisme mempunyai arah kepada verelendung, yakni menyebarkan kesengsaraan.

Itulah kapitalisme!—yang prakteknya bisa kita lihat di seluruh dunia. Itulah kapitalisme, yang ternyata menyebarkan kesengsaraan, kepapaan, pengangguran, balapan-tariff, peperangan, dan kematian,–pendek kata menyebabkan rusaknya susunan-dunia yang sekarang ini. Itulah kapitalisme yang melahirkan modern-imperialisme, yang membikin kita dan hampir seluruh bangasa berwarna menjadi rakyat celaka!

Siapa di dalam beginsel tidak anti kepada stelsel yang demikian itu, adalah menutup mata buat kejahatan-kejahatan kapitalisme yang sudah senyata-nyatanya itu. Tiap-tiap orang, yang mempunyai beginsel yang logis, haruslah anti kepada stelsel itu. Sebab, –sekali lagi saya katakan–, stelsel itu ternyata dan terbukti stelsel yang mencelakakan dunia.

“Ya,” orang menyahut. “tetapi kapitalisme bangsa sendiri?” kapitalisme bangsa sendiri yang bisa kita pakai untuk memerangi imperialisme? Apakah kita harus juga anti kapitalisme bangsa sendiri itu, dan menjalankan perjuangan kelas alias klassentrijd?”

Dengan tertentu disini saya menjawab: ya, kita juga harus anti kepada kapitalisme bangsa sendiri itu! Kita juga harus anti isme yang ikut menyengsarakan marhaen itu. Siapa mengetahui keadaan kaum buruh di industri batik, rokok-kretet, dan lain-lain dari bangsa sendiri, dimana saya sering melihat upah-buruh yang kadang-kadang hanya 10 a’ 12 sen sehari,–siapa mengetahui keadaan perburuhan yang sangat buruk di industri-industri bangsa sendiri itu—-, ia mustilah menggoyangkan kepala dan rasa-kesedihan melihat buahnya cara produksi yang tak adil itu. Pergilah ke Mataram, pergilah ke Lawean Solo, pergilah ke Kudus, pergilah ke Tulung Agung, pergilah ke Blitar,–dan orang akan menyaksikan sendiri “rahmat-rahmatnya” cara produksi itu.

Seorang nasionalis, justru karena ia seorang nasionalis, harulah berani membukakan mata di muka keadaan-keadaan yang nyata itu. Ia harus mengabdi kepada kemanusiaan. Ia harus memperhatikan perkataan-perkataan Gandhi yang saya sajikan tempo hari: nasionalismeku adalah kemanusiaan. Ia harus sosio-nasionalis,–yakni seorang nasionalis yang mau memperbaiki masyarakat dan yang dus anti segala stelsel yang mendatangkan kesengsaraan ke dalam masyarakat itu. Ia harus seorang Jawaharlal Nehru yang berkata:

“Saya seorang nasionalis. Tapi saya juga seorang sosialis dan republiken. Saya tidak percaya kepada raja-raja dan ratu-ratu, tidak pula kepada susunan masyarakat yang melahirkan raja-raja industri yang pada hakekatnya berkuasa lebih besar lagi daripada raja-raja di jaman sediakala. Saya niscaya mengerti, bahwa congress belum bisa mengadakan program sosialistis yang selengkap-lengkapnya. Tetapi filsafat sosialisme sudahlah dengan perlahan-lahan menyerapi segenap susunan masyarakat di seluruh dunia. India niscaya akan menjalankan cara-cara sendiri, dan mencocokkan cita-cita sosialisme itu kepada keadaan penduduk India seumumnya.”

Tetapi, apakah ini berarti, bahwa kita harus memusuhi tiap-tiap orang Indonesia yang mampu? Sama sekali tidak. Sebab pertama-tama: kita tidak memerangi “orang”,–kita memerangi stelsel. Dan tidak tiap-tiap orang yang mampu adalah menjalankan stelsel kapitalisme. Tidak tiap-tiap orang yang mampu adalah mampu karena mengeksploitasi orang lain. Tidak tiap-tiap orang mampu adalah menjalankan cara produksi sebagai yang saya terangkan dengan singkat (dengan mencitat dari pembelaan) di atas tadi. Dan tidak tiap-tiap orang mampu adalah ikut atau hidup di dalam ideologi kapitalisme, yakni di dalam akal, fikiran, budi-pekerti kapitalisme. Pendek kata, tidak tiap-tiap orang mampu adalah jenderal atau sersan atau serdadu kapitalisme!

Dan apakah prinsip kita itu berarti, bahwa kita ini harus mementingkan perjuangan kelas? Juga sama sekali tidak. Kita nasionalis, mementingkan perjuangan nasional, perjuangan kebangsaan.

Hal ini saya terangkan dalam karangan saya yang akan datang.

II

Di dalam karangan saya yang lampau saya katakan, bahwa kita harus anti segala kapitalisme, walaupun kapitalisme bangsa sendiri. Tetapi di situ saya janjikan pula untuk menerangkan, bahwa kita dalam perjuangan kita mengejar Indonesia-merdeka itu tidak pertama-tama mengutamakan perjuangan kelas, tetapi harus mengutamakan perjuangan nasional. Memang kita, –begitulah saya tuliskan–, adalah kaum nasionalis, kaum kebangsaan, dan bukan kaum apa-apa yang lain.

Apa sebabnya kita harus mengutamakan perjuangan nasional di dalam usaha kita mengejar Indonesia merdeka? Kita mengutamakan perjuangan nasional, oleh karena keinsyafan dan perasaan nasional, adalah keinsyafan dan perasaan yang terkemuka di dalam suatu masyarakat kolonial.

Didalam sesuatu masyarakat selamanya adalah antithese, yakni perlawanan. inilah menurut dialektiknya semua keadaan. Tetapi di Eropa, di Amerika, antithese ini sifatnya adalah berlainan dengan antithese yang ada disesuatu negeri kolonial.

Pada hakekatnya, antithese dimana-mana adalah sama: perlawanan antara yang “diatas” dan yang “dibawah”, antara yang “menang” dan yang “kalah”, antara yang menindas dan yang tertindas. Tetapi di Eropa, di Amerika, dan di negeri-negeri lain yang merdeka, dua golongan yang ber-antithese itu adalah dari satu bangsa, satu kulit, satu ras. Kaum modal Amerika dengan kaum buruh Amerika, kaum modal Eropa dengan kaum buruh Eropa, kaum modal negeri merdeka dengan kaum buruh negeri merdeka, umumnya adalah dari satu darah, satu natie. Karena itulah maka disesuatu negeri yang merdeka antithese tadi tidak mengandung rasa atau keinsyafan kebangsaan, tidak mengandung rasa atau keinsyafan nasional, tetapi adalah bersifat zuivere klassenstrijd, –perjuangan klas yang melulu perjuangan klas.

Tetapi didalam negeri jajahan, didalam negeri yang dibawah imperialisme bangsa asing, maka yang “menang” dan yang “kalah”, yang “diatas” dan yang “dibawah”, yang menjalankan kapitalisme dan yang dijalani kapitalisme, adalah berlainan darah, berlainan kulit, berlainan natie , berlainan kebangsaan. Antithese didalam negeri jajahan adalah “berbarengan” dengan antithese bangsa, –samenvallen atau coÑ—nsederen dengan antithese bangsa. Antithese didalam negeri jajahan adalah, oleh karenanya, terutama sekali bersifat antithese nasional.

Itulah sebabnya, maka perjuangan kita untuk mengejar Indonesia Merdeka, –jikalau kita ingin lekas mendapat hasil–, haruslah pertama-tama mengutamakan perjuangan nasional, yakni pertama-tama mengutamakan perjuangan nasional, kita anti segala kapitalisme, kita anti kapitalisme bangsa sendiri, –tetapi kita untuk mencapai Indonesia Merdeka, yakni untuk mengalahkan imperialisme bangsa asing, harus mengutamakan perjuangan kebangsaan.

Mengutamakan perjuangan kebangsaan, itu TIDAK berarti bahwa kita tidak harus melawan ketamakan atau kapitalisme bangsa sendiri. Sebaliknya! Kita harus mendidik Rakyat juga benci kepada kapitalisme bangsa sendiri, dan dimana ada kapitalisme bangsa sendiri, kita harus melawan kapitalisme bangsa sendiri itu juga! Tetapi MENGUTAMAKAN perjuangan nasional, –itu adalah berarti, bahwa pusarnya, titik beratnya, aksennya kita punya perjuangan haruslah terletak didalam perjuangan nasional. Pusarnya kita punya perjuangan sekarang haruslah didalam memerangi imperialisme asing itu dengan segala tenaga kita nasional, dengan segala tenaga-kebangsaan, yang hidup didalam sesuatu bangsa yang tak merdeka dan yang ingin merdeka! Pusarnya kita punya perjuangan sekarang haruslah didalam dynamisering, –yakni membangkitkan menjadi aksi dan perbuatan–, daripada rasa kebangsaan alias nationaal bewustzijn (kesadaran kebangsaan, ed.) kita, — nationaal bewustzijn yang hidup didalam hati sanubari tiap-tiap Rakyat sadar yang tak merdeka.

Jadi, siapa yang mengira, bahwa kita punya nasionalisme adalah nasionalisme yang suka “main mata” dengan borjuisme, ia adalah salah sama sekali. Kita hanyalah menjatuhkan pusar, titik berat, aksennya kita punya perjuangan didalam perjuangan nasional. Borjuisme harus kita tolak, kapitalisme harus kita lawan, –oleh karena itulah maka kita punya nasionalisme Marhaenistis. Sebab, hanya kaum Marhaen sendirilah yang menurut dialektik satu-satunya golongan yang sungguh-sungguh berantithese dengan borjuisme dan kapitalisme itu, dan yang dus bisa sungguh-sungguh menentang dan mengalahkan borjuisme dan kapitalisme itu. Hanya kaum Marhaen sendirilah yang menurut riwayat bisa menjalankan “pekerjaan-riwayat” alias “historische taak”, menghilangkan segala borjuisme dan kapitalisme di negeri kita adanya!

Memang! Marhaenistis nasionalismelah pula yang cocok dengan keadaan nyata yang didatangkan oleh imperialisme di Indonesia sini. Imperialisme Belanda, sedikit berlainan dengan imperialisme Inggris atau imperialisme Amerika, adalah lebih “memarhaenkan” masyarakat Bumiputera daripada imperialisme-imeprialisme yang lain. Imperialisme Belanda itu sejak mulanya datang di Indonesia sini, adalah berasas dan bersifat monopolistis, –merebut tiap-tiap akar perusahaan, pertukangan atau perdagangan atau pelajaran yang ada di Indoensia sini. Imperialisme Belanda itu adalah imperialisme yang lebih “kolot” daripada imperialisme-imperialisme yang lain. Tidak ada sedikitpun warna modern-liberalisme padanya, sebagaimana yang tampak pada imperialisme-imperialisme yang lain. Politiknya adalah politik menggagahi semua lat perekonomiaan di Indonesia sini, menggagahi segala “economisch leven” (kehiduoan ekonomi) di Indonesia sini.

Kini masyarakat Indonesia adalah “masyarakat kecil”, masyarakat yang hampir segala-galanya kecil. Kini masyarakat Indonesia buat sebagian yang besar sekali hanyalah mengenal pertanian kecil, pelajaran kecil, perdagangan kecil, perusahaan kecil. Kini masyarakat Indoensia adalah 90% masyarakat kekecilan itu, –masyarakat Marhaen yang hampir tiada kehidupan ekonominya sama sekali. Oleh karena itulah, maka Marhaenistis nasionalisme adalah satu-satunya nasionalisme yang cocok dengan sifatnya masyarakat Indonesia itu, cocok dengan keadaan nyata, cocok dengan realiteit di Indoensia itu. Dan oleh karena itulah pula, maka juga hanya Marhaenistis nasionalisme sajalah yang bisa menjalankan historische taak mendatangkan Indonesia-Merdeka dengan secepat-cepatnya, – historische taak yang sesuai juga dengan historische taak-nya menghilangkan segala borjuisme dan kapitalisme adanya!

Jawaharlal Nehru, didalam pidatonya dimuka National Congress yang ke 44, sebagai yang telaah kita kutip tempo hari, mengakui dengan terus terang seorang Sosialis, yang anti segala kapitalisme. Tetapi Jawaharlal Nehru itu pula adalah seorang Nasionalis, –the second uncrowned king of India, raja kedua dari India yang tak bermahkota–, yang membangkitkan segala tenaga Rakyat India yang tak bermahkota–, yang membangkitkan segala tenaga Rakyat India kedalam suatu perjuangan nasional yang mati-matian. Nasionalisme Jawaharlal Nehru adalah nasionalisme India yang Marhaenistis, suatu Sosio-Nasionalisme yang ingin menghilangkan semua kapitalisme, menyelamatkan seluruh masyarakat India.

Nasionalisme yang demikian itulah nasionalisme kita pula.

Fikiran Ra’jat, 1932

Marhaen dan Proletar

photo.net



Di dalam konferensi di kota Mataram baru-baru ini, Partindo telah mengambil putusan tentang Marhaen dan Marhaenisme, yang poin-poinnya antara lain sebagai berikut:
  1. Marhaenisme, yaitu Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi.
  2. Marhaen yaitu kaum Proletar Indonesia, kaum Tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
  3. Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak proletar, oleh karena perkataan proletar sudah termaktub di dalam perkataan Marhaen, dan oleh karena perkataan proletar itu bisa juga diartikan bahwa kaum tani dan lain-lain kaum yang melarat tidak termaktub di dalamnya.
  4. Karena Partindo berkeyakinan, bahwa di dalam perjuangan, kaum melarat Indonesia lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemennya (bagian-bagiannya), maka Partindo memakai perkataan Marhaen itu.
  5. Di dalam perjuangan Marhaen itu maka Partindo berkeyakinan bahwa kaum Proletar mengambil bagian yang besar sekali.
  6. Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen.
  7. Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya, harus suatu cara perjuangan yang revolusioner.
  8. Jadi Marhaenisme adalah : cara perjuangan dan azas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme.
  9. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan Marhaenisme.

* * *

Sembilan kalimat dari putusan ini sebenarnya sudah cukup terang menerangkan apa artinya Marhaen dan Marhaenisme. Memang perkataan-perkataannya di sengaja perkataan-perkataan yang populer, sehingga siapa saja yang membacanya, dengan segera mengerti apa maksud-maksudnya. Namun, -ada satu kalimat yang sangat sekali perlu diterangkan lebih luas, karena memang ssangat sekali pentingnya. Kalimat itu ialah kalimat yang kelima. Ia berbunyi: “Di dalam perjuangan Marhaen itu, maka Partindo berkeyakinan, bahwa kaum Proletar mengambil bagian yang besar sekali.”

Satu kalimat ini saja sudahlah membuktikan, bahwa cara perjuanngan yang dimaksudkan ialah cara perjuangan yang tidak ngelamun, cara perjuangan yang dimaksudkan ialah cara perjuangan yang “menurut kenyataan”, -cara perjuangan yang modern. Sebab, apa yang dikatakan di situ? Yang dikatakan disitu ialah, bahwa didalam perjuangan Marhaen, kaum Proletar mengambil bagian yang besar sekali.

Ya, disini dibikin perbedaan paham yang tajam sekali antara Marhaen dan Proletar. Memang di dalam kalimat nomor 2, nomor 3 dan nomor 4 daripada putusan itu adalah diterangkan perbedaan paham itu: bahwa Marhaen bukanlah kaum Proletar (kaum buruh) saja, tetapi ialah kaum Proletar dan kaum Tani melarat Indonesia yang lain-lain, -misalnya kaum dagang kecil, kaum ngarit, kaum tukang kaleng, kaum grobag, kaum nelayan, dan kaum lain-lain. Dan kemodernannya dan kerasionilannya kalimat nomor 5 itu ialah, bahwa di dalam perjuanngan bersama daripada kaum Proletar dan kaum Tani dan kaum melarat lain-lain itu, kaum Proletarlah mengambil bagian yang besar sekali: Marhaen seumumnya sama berjuang, Marhaen seumumnya sama merebut hidup, Marhaen seumumnya sama berikhtiar mendatangkan masyarakat yang menyelamatkan Marhaen seumumnya pula –namun kaum Proletar yang mengambil bagian yang besar sekali.

Ini, paham ”Proletar mengambil bagian yang besar sekali”-, inilah yang saya sebutkan modern, inilah yang bernama rasional. Sebab kaum Proletarlah yang kini lebih hidup di dalam ideologi modern, kaum Proletarlah yang sebagai klasse lebih langsung terkenal oleh kapitalisme, kaum Proletarlah yang lebih “mengerti” akan segala-galanya kemodernan Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Mereka lebih “selaras dengan jaman”, mereka lebih “nyata pemikirannya,” mereka lebih “konkret”, dan…Mereka lebih besar harga perlawanannya, lebih besar gevechtswaarde-nya dari kaum yang lain-lain. Kaum tani adalah umumnya masih hidup dengan satu kaki di dalam ideologi feodalisme, hidup di dalam angan-angan mistik yang melayang-layang diatas awang-awang, tidak begitu “selaras jaman” dan “nyata pikiran” sebagai kaum Proletar yang hidup di dalam kegemparan percampur gaulan abad keduapuluh. Mereka masih banyak mengagung-agungkan ningratisme, percaya pada seorang “Ratu Adil” atau “Heru Cokro” yang nanti akan terjelma dari kalangan membawa kenikmatan surga dunia yang penuh dengan rezeki dan keadailan, ngandel akan “kekuatan-kekuatan rahasia” yang bisa “memujakan” datangnya pergaulan hidup baru dengan termenung di dalam gua.

Mereka di dalam segala-galanya masih terbelakang, masih “kolot”, masih “kuno”. Mereka memang sepantasnya begitu: mereka punya pergaulan hidup adalah pergaulan hidup “kuno”. Mereka punya cara produksi adalah cara produksi dari jaman Medang Kamulan dan Majapahit, mereka punya beluku adalah belukunya Kawulo seribu lima ratus tahun yang lalu, mereka punya garu adalah sama tuanya dengan nama garu sendiri, mereka punya cara menanam padi, cara hidup, pertukar-tukaran hasil, pembahagian tanah, pendek seluruh kehidupan sosial ekonominya adalah masih berwarna kuno, -mereka punya ideologi pasti berwarna kuno pula!

Sebaliknya kaum Proletar sebagai klas adalah hasil langsung daripada kapitalisme dan imperialisme. Mereka adalah kenal akan pabrik, kenal akan mesin, kenal akan listrik, kenal akan cara produksi kapitalisme, kenal akan kemodernannya abad keduapuluh. Mereka ada pula lebih langsung menggenggam mati hidupnya kapitalisme di dalam mereka punya tangan, lebih direct (langsung, ed.) mempunyai gevechtswaarde anti kapitalisme. Oleh karena itu, adalah rasionil jika mereka yang di dalam perjuangan anti kapitalisme dan imperialisme itu berjalan di muka, jika mereka yang menjadi pandu, jika mereka yang menjadi “voorlooper”, -jika mereka yang menjadi “pelopor”. Memang! Sejak adanya soal “Agrarfrage” alias “soal kaum tani”, sejak adanya soal ikutnya si tani di dalam perjuangan melawan stelsel (sistem, ed.) kapitalisme yang juga tak sedikit menyengsarakan si tani itu, maka Marx sudah berkata bahwa di dalam perjuangan tani dan buruh ini, kaum buruh lah yang harus menjadi “revolutionaire voorhode” alias “barisan muka yang revolusioner”: kaum tani harus dijadikan kawannya kaum buruh, dipersatukan dan dirukunkan dengan kaum buruh, dibela dalam perjuangan anti kapitalisme agar jangan nanti menjadi begundalnya kaum kapitalisme itu, -tetapi di dalam perjuangan bersama ini kaum buruhlah yang “menjadi pemanggul panji-panji Revolusi Sosial”. Sebab, memang merekalah yang, menurut Marx, sebagai klasse ada suatu “social noodwendigheid” (suatu keharusan dalam sejarah, ed.), dan memang kemeangan ideologi merkalah yang nanti ada suatu “historische noodwendigheid”, -suatu keharusan riwayat, suatu kemustian di dalam riwayat.

Welnu, jikalau benar ajaran Marx ini, maka benar pula kalimat nomor 5 daripada sembilan kalimat diatas tadi, yang mengatakan bahwa di dalam perjuangan Marhaen, kaum Buruh mempunyai bagian yang besar sekali.

Tetapi orang bisa membantah bahwa keadaan di Eropa tak sama dengan keadaan di Indonesia? Bahwa disana kapitalisme terutama sekali kapitalisme kepabrikan, sedang disini ia adalah terutama sekali kapitalisme pertanian? Bahwa disana kapitalisme bersifat zulvere industrie, sedang disini ia buat 75% bersifat onderneming (perkebunan, ed.) karet, “onderneming” teh, onderneming tembakau, onderneming karet, onderneming kina, dan lain sebagainya? Bahwa disana hasil kapitalisme itu ialah terutama sekali kaum Proletar 100%, sedang disini ia terutama sekali ia menghasilkan kaum tani melarat yang papa dan sengsara? Bahwa disana memang benar mati hidup kapitalisme itu ada di dalam genggaman kaum Proletar, tetapi di sini ia buat sebagian besaar ada di dalam genggaman kaum tani? Bahwa dus sepantasnya disana kaum Proletar yang menjadi “pembawa panji-panji,” tetapi disini belum tentu harus begitu juga?

Ya,… benar kapitalisme disini adalah 75% industril kapitalisme pertanian, benar mati hidupnya kapitalisme disini itu buat sebagian besar ada di dalam genggamannya kaum tani, tetapi hal ini tidak merubah kebenaran pendirian, bahwa kaum buruhlah yang harus menjadi “pembawa panji-panji”. Lihatlah sebagai tamzil sepak teryangnya suatu tentara militer: yang menghancurkan tentaranya musuh adalah tenaga daripada seluruh tentara itu, tetapi toh ada satu barisan daripadanya yang ditaruh dimuka, berjalan dimuka, berkelahi mati-matian dimuka, -mempengaruhi dan menjalankan kenekatan dan keberaniannya seluruh tentara itu: barisan ini adalah barisannya barisan pelopor. Nah, tentara kita adalah benar tentaranya Marhaen, tentaranya klas Marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaganya kaum tani, tetapi barisan pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum Proletar.

Oleh karena itu, pergerakan kaum Marhaen tidak akan menang, jika tidak sebagai bagian daripada pergerakan Marhaen itu diadakan barisan “buruh dan sekerja” yang kokoh dan berani. Camkanlah ajaran ini, kerjakanlah ajaran ini! Bangunkanlah barisan “buruh dan sekerja” itu, bangkitkanlah semangat dan keinsyafan, susunkanlah semua tenaganya! Pergerakan politik Marhaen umum adalah perlu, -tetapi sarekat buruh dan sekerja adalah juga perlu, amat perlu, teramat perlu, maha perlu dengan tiada hingganya!

Fikiran Ra’jat 1933

Catatan: Sociale Noodwendigheid: Suatu keharusan di dalam masyarakat.

Bung Karno dan Konsep Persatuannya

BK di tengah masa
Membicarakan konsep front persatuan, tidak lengkap rasanya jika tidak menyebutkan nama Bung karno dan gagasan-gagasan politiknya. Ia memegang teguh keyakinan politiknya sejak awal hingga akhir, termasuk keyakinannya soal persatuan nasional yang dinamainya Nasakom, akronim dari nasionalis, agama, dan komunis.

Ada banyak yang mengatakan, pemikiran Bung Karno mengenai Nasakom adalah yang paling orisinil dan acceptable di Indonesia. Sedangkan tak sedikitpula yang mencibir, bahwa persatuan nasional nasakom hanya konsep belaka dan akan berantakan jika dipraktekkan.

Kondisi Yang Melahirkan Gagasan Persatuan

Bung Karno menginjak masa kematangan dalam pergerakan untuk kemerdekaan nasional dengan melalui dua fase penting. Pertama, ketika dia tinggal di Surabaya, yaitu rumah Tjokroaminoto, seorang tokoh pergerakan nasional kenalan bapaknya. Rumah Tjokroaminoto merupakan “universitas politik” bagi Bung Karno, dimana ia bisa bertemu dengan tokoh-tokoh terkemuka dunia pergerakan dan menyerap teori-teori politik mereka.

Kedua, ketika Bung Karno melanjutkan sekolahnya di HBS Bandung, tempat dimana ia mendengarkan kuliah-kuliah dari sosialis-demokrat dan demokrat radikal Belanda. Di Bandung, Bung Karno menemukan semangat lain, bukan hanya karena mendengar ceramah-ceramah orang-orang sosialis demokrat macam J.E. Stokvis dan C. Hartogh, tetapi juga karena mendapat siraman radikalisme dari tokoh-tokoh pergerakan Indische Partij, seperti Tjipto Mangkunkusumo dan Douwes Dekker.

Kedua pengalaman itu sangat mempengaruhi gagasan-gagasan politik Bung Karno muda. Di satu sisi, dia sangat kagum dengan guru dan sekaligus mertuanya, Tjokroaminoto, tetapi kurang puas dengan langkah moderatnya. Sedangkan, pada sisi yang lain, dia semakin menyerap teori-teori baru (nasionalisme radikal dan sosialisme) dan memantapkan diri untuk terbenam dalam perjuangan anti-kolonialisme dan pembebasan rakyat.

Namun, pada tahun 1921, Bung Karno mulai menyaksikan dinamika yang sangat cepat di kalangan pergerakan; saling kritik, perpecahan, dan persatuan.

Ada beberapa hal yang menandai situasi gerakan pada kurun waktu 1921 hingga 1926 (lahirnya tulisan Bung Karno: Marxisme, nasionalisme, dan islamisme). Pertama, semakin menguatnya pengaruh gerakan rakyat yang menolak untuk mengemis kemajuan kepada pihak kolonialis Belanda. Partai-partai ini, terutama sekali PKI dan Indische Partij, telah memaklumkan sikap non-koperasi terhadap pemerintahan kolonial. Bung Karno dalam sebuah pidato menggebu-gebu di tahun 1923, mengatakan: “….Sudah tiba saatnya untuk tidak lagi mengemis-ngemis, tetapi adalah menuntut kepada tuan-tuan kaum Imperialis.”

Seiring dengan periode surutnya gerakan mengemis-ngemis itu, maka pamor tokoh-tokoh semacam Tjokroaminoto dan Dr. Soetomo pun semakin merosot di mata kaum pergerakan dan rakyat.

Kedua, Bung Karno menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri saling serang di kalangan pergerakan pembebasan nasional. Dalam tahun 1921, di dalam Sarekat Islam (SI), organisasi politik terbesar saat itu, telah terjadi perpecahan yang tak terhindarkan. Para pemimpin sayap kanan (SI putih) telah berhasil memaksa keluar pengikut-pengikutnya yang kiri (SI-merah)—yang sangat dipengaruhi oleh ISDV/PKI.

Pemuda Bung Karno juga menyaksikan bagaimana gurunya, Tjokroaminoto, diserang secara pribadi oleh Haji Misbach, tokoh haji merah yang berfikiran radikal dan anti-kolonial. Dalam kongres PKI itu, pemuda Bung Karno berdiri dan meminta Haji Misbach untuk meminta maaf.

Ketiga, Bung Karno menyaksikan kesuksesan setidaknya 17 organisasi mendirikan front persatuan yang diberi nama ‘Konsentrasi Radikal’, yang menggabukan organisasi, diantaranya, Sarekat Islam, Budi Utomo, Insulinde, Pasundan dan Perkumpulan Sosial Demokratis Indonesia.

Konsep Persatuan: Nasionalis, Islamis, Dan Marxis

Pada tahun 1926 Bung Karno mengeluarkan tulisan berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, dimana ia menegaskan bahwa persatuanlah yang membawa kita ke arah “kebesaran dan kemerdekaan”.

Dalam tulisan itu, yang didalamnya disertai penjelasan yang sangat mendalam, Bung Karno menegaskan bahwa tiga aliran dalam politik Indonesia, yaitu nasionalis, agama, dan marxis, bisa bersatu untuk mencapai Indonesia merdeka.

“Inilah azas-azas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi roh-nya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Roh-nya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia-kita ini,” demikian ditulis Bung Karno untuk menyakinkan keharusan front persatuan tiga kekuatan itu.

Dengan meminjam kata-kata Gandhi dan pengalamannya, Bung Karno telah menunjukkan bahwa kaum nasionalis bisa bersatu dengan kaum marxis dan pan-islamisme.

Bung Karno membedakan antara nasionalis sejati, yaitu nasionalis cintanya pada tanah-air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka, dengan nasionalis chauvinis. Menurut pendapatnya, nasionalis sejati akan terbuka untuk bekerjasama dengan golongan politik lain yang memiliki tujuan sama.

Demikian pula terhadap islam, Bung Karno telah membedakan antara islam kolot dan islam sejati. “Selama kaum Islamis memusuhi faham-faham Nasionalisme yang luas budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum islamis tidak berdiri di atas Sirothol Mustaqim,” tulis Bung Karno.

Ditariknya pendekatan mengenai kesamaan antara islam dan marxisme, yaitu sama-sama bersifat sosialistis, dan letakkannya musuh bersama bagi keduanya; kapitalisme (paham riba).

Sementara terhadap kaum Marxis, Bung Karno telah mengambil taktik perjuangan kaum marxis yang baru, yaitu “tidak menolak pekerjaan-bersama-sama dengan Nasionalis dan Islamis di Asia”. Untuk menyakinkan kaum marxis, Bung Karno mengambil contoh: Kita kini melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Nasionalis di negeri Tiongkok; dan kita melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Islamis di negeri Afganistan.

Sesuai dengan keadaan Indonesia

Konsep persatuan diantara tiga kekuatan itu tidaklah jatuh dari langit, ataupun dari imajinasi biasa dari Bung Karno, melainkan dipetik dari kenyataan real dari keadaan Indonesia.

Bung Karno adalah salah seorang dari berbagai tokoh gerakan pembebasan nasional yang tidak menginjakkan kakinya di luar negeri, namun menyerap ilmu pergerakannya dari tokoh-tokoh terkemuka dunia pergerakan, seperti Tjokroaminoto, Tjipto Mangungkusumo, dan lain-lain.

Pengetahuannya mengenai marxisme didapatkan dari kuliah-kuliah atau ceramah-ceramah kaum sosialis Belanda, dan paling banyak didapatkan dari berbagai literatur marxis yang dibacanya.

Tetapi Bung Karno bukan seorang dogmatis, ia selalu berhasil meletakkan teori itu dalam syarat-syarat keadaan Indonesia dan dipergunakan untuk mencapai satu tujuan; Indonesia merdeka!

Demkian pula saat mengeluarkan konsep persatuan tiga kekuatan itu, Bung Karno telah mengambilnya dari kenyataan politik di Indonesia. Bagaiaman Bung Karno bisa membangun konsepsi persatuannya:

Pertama, Bung Karno adalah orang yang paling tekun dalam mempelajari berbagai aliran politik dalam gerakan nasional Indonesia. Dalam penyelidikan dan pengamatannya secara langsung, ketiga aliran itulah yang mewakili perjuangan melawan kolonialisme dan mewakili pengaruh luas di kalangan rakyat.

Bung Karno pernah menjadi anggota Sarekat Islam, meskipun tidak pernah terdaftar sebagai pengurus. Dia juga sering menemani Tjokroaminoto dalam menghadiri rapat-rapat akbar (vergadering) dan pertemuan-pertemuan.

Selain itu, ketika beraktivitas di Bandung, Bung Karno juga sangat dekat dengan tokoh nasionalis radikal, khususnya Tjipto Mangungkusumo, yang oleh belanda dikenal dikenal sebagai ”elemen paling berbahaya dalam gerakan rakyat di jawa.

Dari segi pemikiran, Bung Karno sangat dipengaruhi oleh nasionalis-nasionalis progressif, terutama Gandhi dan Sun Yat Sen. Dia juga bersentuhan dengan pemikiran nasionalis-nasionalis lain macam Mazzini, Cavour, dan Garibaldi.

Terhadap gerakan komunis, Bung Karno sangat tekun mempelajari marxisme dan menyebut dirinya sebagai Marxis. Semasa di rumah Tjokroaminoto, Bung Karno telah berkenalan dengan Snevleet, Baars, dan orang-orang Indonesia: Semaun, Musso, Tan Malaka, dan Alimin. Bahkan Bung Karno mengakui bahwa Marhaenisme, hasil temuannya sendiri, adalah marxisme yang dicocokkan dan dilaksanakan menurut keadaan Indonesia.

Kedua, Bung Karno, seperti juga kaum marxis pada umumnya, mengakui adanya kontradiksi tak terdamaikan antara kolonialisme/imperialisme dengan rakyat Indonesia, atau dalam bahasa Bung Karno: pertentangan sana dan sini; sana mau kesana, sini mau ke sini.

Dengan begitu, tidak benar juga kalau dikatakan front persatuan ala Bung Karno ini terlalu eklektis, sebab pembedaan sini dan sana itu sudah merupakan sebuah pembedaan yang jelas, gamblang.

Bung Karno sangat menyakini, bahwa jika ketiga kekuatan ini dapat disatukan dalam sebuah persatuan, maka dia menjadi gabungan kekuatan yang maha dahsyat. Karena, menurut perhitungan Bung Karno, gabungan kekuatan ini meliputi 90% paling sedikit daripada seluruh rakyat Indonesia.

Lapangan Praktek

Pada bulan September 1927, berpidato di hadapan peserta kongres Partai Sarekat Indonesia, Bung Karno telah mengusulkan untuk mendirikan semacam federasi diantara organisasi-organisasi pergerakan nasional.

Ide yang dilemparkan Bung Karno mendapat sambutan luas, dan kepada Bung Karno diserahi tugas untuk merancang konsep persatuannya. Dan, pada desember 1927, enam organisasi politik telah bersepakat mendirikan Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).

Namun, Bung Karno berhasil menyatukan perbedan-perbedaan diantara organisasi terkait taktik, khususnya soal koperasi dan non-koperasi, dengan mengatasnamakan tujuan kemerdekaan. Akan tetapi, sebagai konsekuensi logisnya, Bung Karno gagal membawa federasi ini menjadi radikal.

Beberapa front persatuan sesudahnya, seperti Gabungan Aksi Politik Indonesia (GAPI), dimana Partindo tergabung di dalamnya, sedikit-banyaknya sesuai dengan konsep persatuan ala Bung Karno.

Lebih jauh lagi, rumusan persatuan tiga kekuatan ini akan sangat nampak pula dalam pidato Bung Karno mengenai dasar negara di depan BPUPKI, 1 Juni 1945, yang dikenal sebagai “Pancasila”. Rumusan Pancasila adalah rumusan dari tiga kekuatan; nasionalis, agamais, dan marxis. Bung Karno mengatakan, pancasila itu dapat diperas menjadi tiga, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-nasionalisme, dan Sosio-demokrasi. Ketiga perasan pancasila tersebut, lanjut Bung Karno, masih dapat diperas lagi menjadi satu, atau sering disebut Ekasila, yaitu: Gotong Royong.

Belakangan, Bung Karno mempersamakan antara pancasila, Gotong-royong, dan Nasakom (nasionalis, Agama, dan Komunis). “Nasakom adalah perasan dari pancasila, dus nasakom adalah sebenarnya juga gotong royong, sebab gotong royong adalah de totale perasan dari pancasila, maka perasan daripada Nasakom adalah gotong royong pula,” demikian kata Bung Karno pada pembukaan kursus kilat kader Nasakom, 1 Juni 1965.

Pada tahun 1959, Soekarno telah memprakarsai pembentukan Front Nasional, yang tujuannya adalah menuntaskan revolusi nasional dan dibentuknya sebuah masyarakat adil dan makmur. Soekarno, yang telah berhasil menyakinkan PKI, berusaha menghidupkan kembali kolaborasi antara kaum nasionalis, agamais, dan marxis untuk menghadapi imperialisme.

PKI sendiri sangat menyambut uluran tangan Bung Karno untuk bersama-sama melawan imperialisme. Dan, di akhir tahun 1960-an, sebagaimana dicatat oleh Rex Mortimer, PKI telah secara terbuka menegaskan untuk mensubordinasikan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional.

Sebetulnya Front Nasional dirancang untuk memobilisasi seluruh kekuatan rakyat guna melawan imperialisme. Dan, untuk mencapai tujuan-tujuan itu, Soekarno menganjurkan agar Front Nasional dibangun hingga ke dusun-dusun. Sayang sekali, niat ini tidak sepenuhnya berjalan dan lebih banyak disabotase.

Di penghujung 1965, ketika sebuah kudeta merangkak berusaha menggusur dirinya dari kekuasaan, Soekarno menolak pertumpahan darah dan memilih untuk terus mengedepankan persatuan nasional. Pada pidato 17 Agustus 1966, Bung Karno menyerukan agar tetap memperkuat persatuan tiga kekuatan, yaitu Nasakom.

Pun, ketika demonstrasi mahasiswa kanan menuntut Bung Karno agar segera membubarkan PKI dan ormas-ormas komunis, Ia telah menolaknya. Dan, dengan suara yang lebih tegas, bahwa Pancasila tidak anti Nas (nasionalis), tidak anti A (agama), dan tidak anti Kom (komunis).

Begitulah, Bung Karno memeluk dengan teguh keyakinan politik dan strategi persatuannya dari awal hingga akhir. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, tetapi Nasakom pernah bergema dalam dalam sejarah politik Indonesia.
 
Copyright © 2011. Seputar Marhaenis - All Rights Reserved