Headlines News :
Home » » Mengobarkan Kembali Semangat Bandung 1955

Mengobarkan Kembali Semangat Bandung 1955

Written By Seputar Marhaenis on Senin, 30 April 2012 | 12.06

,Konperensi Asia Afrika, 1955-2
Pada 19-24 April 1955, di Bandung, sebuah konferensi anti-imperialis dan anti-kolonialis juga digelar. Pertemuan ini, 28 tahun setelah pertemuan Liga Anti-Imperialis di Brussel, Belgia, adalah pertemuan anti-imperialis pertama yang melibatkan negara-negara Asia dan Afrika secara luas. Let a New Asia and a New Africa be Born!

Ada pesan kuat dari pertemuan ini: kolonialisme dalam bentuk yang bagaimanapun adalah kejahatan yang harus segera diakhiri. KAA 1955 di Bandung, yang dihadiri oleh 29 negara, mewakili 1,5 milyar umat manusia atau 56% penduduk dunia. Semangat Bandung 1955 bak taufan dari selatan yang menyapu hingga utara.

Dalam kurun waktu 10 tahun saja (1955-1965), ada 41 negara di Asia yang berhasil memerdekakan diri. Kemudian, antara 1966-1975, ada 24 negara yang merdeka. Selanjutnya, sejak 1976 hingga 1985, ada 13 negara di Asia dan Afrika yang menyatakan kemerdekaan.

Sudah 57 tahun semangat Bandung 1955. Apakah semangat itu masih kuat atau sudah meredup? Ada beberapa hal yang menandai situasi saat ini. Pertama, negara-negara kapitalis maju, khususnya di Eropa dan AS, sedang mengalami krisis dan penurunan ekonomi. Kedua, pusat pertumbuhan ekonomi dunia sudah bergeser ke selatan, khususnya di Asia dan Amerika Selatan. Ketiga, ketidakpuasan terhadap tatanan dunia lama, yakni kapitalisme, semakin kencang disuarakan oleh rakyat di negara kapitalis maju.

Meski sedang krisis, bahkan mungkin sedang sekarat, imperialisme global tidak berkurang nafsunya untuk mengangkangi dunia. Nafsu agresi negeri-negeri imperialis ke sejumlah negara berdaulat, khususnya Libya, Iran dan Suriah, adalah buktinya. Ini pula yang membuat bencana kemanusiaan, khususnya perang, masih terus membayangi rakyat di negara dunia ketiga.

Praktek kolonialisme belumlah menghilang. Bahkan, seperti dikatakan Bung Karno saat berpidato di KAA 1955: “Kolonialisme belum mati. Kolonialisme mempunyai juga baju modern, dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan intelektual, penguasaan materiil yang nyata, dilakukan oleh sekumpulan kecil orang-orang asing yang tinggal di tengah-tengah rakyat. Ia merupakan musuh yang licin dan tabah, dan menyaru dengan berbagai cara. Tidak gampang ia mau melepaskan mangsanya. Di mana, bilamana, dan bagaimanapun ia muncul, kolonialisme adalah hal yang jahat, yang harus dilenyapkan dari muka bumi.”

Dulu, negara kita adalah sponsor perjuangan anti-imperialisme dan anti-kolonialisme. Akan tetapi, sekarang ini, bangsa kita kembali menjadi tawanan neokolonialisme dan imperialisme. Negara sponsor KAA yang lain, seperti India, Myanmar, Pakistan, dan Srilangka, juga mengalami nasib yang sama.

Pada tahun 1960, pendapatan 20% penduduk di negeri-negeri kaya adalah 30 kali lebih besar dibanding 20% negara miskin. Sekarang, kesenjangan pendapatan itu sudah 82 kali lebih besar. Di 70 negara di dunia, umumnya di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, pendapatan perkapitanya lebih rendah dibanding 20 tahun yang lalu. Hampir tiga milyar manusia—sebagian besar di Asia, Afrika, dan Amerika Latin—hidup dengan pendapatan di bawah 2 dollar AS perhari. Dari 4 milyar manusia yang hidup di negara berkembang, hampir sepertiganya tidak bisa mengakses air minum bersih. Pada tahun 2007, lebih dari seperempat anak-anak di negara miskin—sebagian besar di Asia selatan dan sub-sahara Afrika—menderita kekurangan berat badan dan pertumbuhan terhambat. Anak-anak Afrika merupakan 80% dari korban Malaria di seluruh dunia.

Inilah malapetaka neokolonialisme itu. Negara-negara dunia ketiga masih berperan sebagai penyedia bahan baku, tenaga kerja murah, penyedia pasar, dan lahan sumber bagi investasi asing. Sumber daya alam yang melimpah di negara-negara dunia ketiga gagal dimanfaatkan untuk memakmurkan rakyatnya. Sebagian besar kekayaan alam itu, berikut nilai tambah yang dihasilkan, terus-menerus mengalir deras keluar menuju negeri-negeri imperialis.

Inilah tantangan terbesar perjuangan anti-kolonialisme saat ini. Apa yang dilakukan oleh sejumlah negara di Amerika Latin, seperti Bolivia, Venezuela, dan Ekuador, yang berusaha keluar dari jalan neraka (neoliberalisme), adalah sesuatu yang patut dicontoh oleh negara-negara Asia dan Afrika. Pembentukan blok atau kerjasama regional seperti ALBA dan CELAC (Komunitas Negara Amerika Latin dan Karibia), yang menekankan kerjasama yang setara dan solidaritas, patut diapresiasi dan dijadikan contoh.

Semangat Bandung 1955 perlu digelorakan kembali: perjuangan anti-imperialisme dan anti-kolonialisme perlu dikobarkan lebih kuat lagi. Perjuangan rakyat di Asia-Afrika melawan imperialisme dan neo-kolonialisme akan berjalan seiring dengan perjuangan rakyat di negara-negara dunia pertama melawan kapitalisme.

Ini tidak berbeda jauh dengan pesan Bung Karno: “Rakyat Indonesia berjuang dengan menggalang persatuan Nasional anti-imperialisme-kolonialisme di dalam negeri, sebagai bagian daripada perjuangan untuk kepentingan ummat manusia di dunia. Pengabdian kepada perjuangan kemerdekaan Nasional yang penuh itu tidak dapat dipisah-pisahkan dengan kerjasama internasional anti-imperialisme-kolonialisme”. (Tubapi, hal 258).
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Seputar Marhaenis - All Rights Reserved