Headlines News :
Home » » Fadjroel Rachman: Indonesia Post 1998, Rezim Rekondisi

Fadjroel Rachman: Indonesia Post 1998, Rezim Rekondisi

Written By Seputar Marhaenis on Rabu, 25 April 2012 | 13.24

Gagasan utama penulisan buku Demokrasi tanpa Kaum Demokrat adalah ingin menunjukkan bahwa rezim yang berkuasa setelah Soeharto presiden pada dasarnya adalah rezim yang sama. Menurut saya, secara umum ada tiga tahap menuju rezim demokratis. Pertama, rezim totaliter atau otoriter. Kedua, tahap trasisi dan konsolidasi demokrasi. Ketiga, rezim demokrasi. Tujuan utama gerakan menggulingkan Soeharto dan Orde Baru itu bukan hanya sekadar hanya menggulingkan kepemimpinan nasional, tapi yang paling penting adalah melakukan perubahan struktural. Dalam hal itu adalah mencoba merombak relasi sosial-politik dan sosial-ekonomi yang kapitalistik—yang hampir selama 32 tahun hanya melahirkan ketimpangan sosial-ekonomi—juga merombak kebudayaannya yang masih feodalistik.

Menurut Fadjroel, yang dihasilkan reformasi 1998 itu hanya sekadar menggulingkan kepemimpinan nasional. Soeharto sebenarnya tidak jatuh, tidak step down. Menurut saya, waktu itu hanya step aside, menyingkir saja, kemudian menaikkan Habibie. Di titik itulah kegagalan reformasi. Ketika Habibie berhasil dinaikkan, di titik itulah kaum anti-demokrasi—yang kita sebut Orde Baru—berhasil menentukan arah dan apa yang harus dilakukan di dalam demokrasi. Tetapi Habibie ternyata tidak terlalu pas dengan arus sejarah—ditentang karena kasus Semanggi I dan II. Kemudian kelompok Orde Baru menjatuhkan Habibie dan mendorong Gus Dur naik, dengan catatan Gus Dur harus bisa dikendalikan. Tetapi ternyata Gus Dur terlalu "liar". Langkah berikutnya adalah menggunakan Megawati. Didukung oleh tentara dan Akbar Tanjung dengan Golkarnya, kelompok Orde Baru kemudian menggulingkan Gus Dur dan menggantinya dengan Megawati. Megawati paling mudah dikalahkan. Setelah Megawati, naiklah SBY, Jusuf Kalla dan lain-lain.

Jadi, Orde Baru tepatnya memimpin arah dan kecepatan reformasi. Mereka menerima demokrasi secara terbatas. Hanya dalam tiga langkah saja mereka berhasil kembali mengendalikan kekuasaan. Pertama, menaikkan Habibie, tetapi tidak pas, kemudian kedua, menaikkan Gus Dur; kemudian menghantam Gus Dur dengan Megawati; dan ketiga, menghajar Megawati dengan kekuatan Golkar, tentara dan konglomerasi. Nah, rejim SBY-JK ditambah dengan konglomerasi dan birokrasi. Seperti kita ketahui empat elemen Orde Baru adalah TNI, Golkar, Konglomerasi dan biroktasi. Keempat elemen itu sekarang mengalami rekondisi.

Rekondisi itu adalah barang busuk yang diperbaiki seolah-olah baru, kemudian dijual sebagai barang baru. Jadi, rezim yang sekarang itu bisa disebut rezim rekondisi. Politisinya juga politisi rekondisi. Siapa yang bisa mengatakan bahwa SBY barang baru, Jusuf Kalla barang baru, Aburizal Bakrie barang baru, semua birokrat yang jumlahnya 3,7 juta itu barang baru? Itu adalah rezim rekondisi. Nah, di titik itu saya ingin mengatakan bahwa demokrasi kita ini adalah demokrasi tanpa kaum demokrat. Jadi, yang memimpin dan mengarahkan reformasi adalah kaum anti-demokrasi.

Hampir semua tulisan yang ada di buku Demokrasi tanpa Kaum Demokrat adalah hasil penelitian. Penelitian tersebut hendak menjawab mengapa dan bagaimana sebenarnya transisi demokrasi harus dilakukan. Saya melakukan riset di Philipina, Kamboja, Jerman—era perubahan dari Nazi ke rezim demokrasi. Dalam riset di Jerman Timur saya ingin melihat perubahan dari rezim komunis ke rezim yang baru. Berdasarkan penelitian tersebut, yang tidak terjadi di Indonesia adalah: ketika terjadi perpindahan dari rezim totaliter/otoriter ke rezim demokrasi adalah jembatan transisi. Contoh kasusnya di Philipina. Untuk mencapai transisi, yang dilakukan oleh Corry adalah membentuk komisi konstitusi. Tugasnya membuat satu kontrak sosial baru—membentuk konstitusi baru. Hal itu juga dilakukan di Afrika Selatan dan Thailand. Jadi, komisi konstitusi itu tidak lain adalah fasilitator untuk menangkap kontrak sosial seperti apa yang dibutuhkan oleh rezim demokrasi. Setelah disusun dan diujipublikkan, kemudian dilakukan referendum, dan masyarakat menerima perubahan tersebut. Karena itu, mereka menganggapnya sebagai people constitution (konstitusi rakyat).

Langkah kedua yang dilakukan adalah membentuk—yang dalam kasus Philipina—Presidential Commision on Good Government yang tugasnya adalah mengejar harta Marcos dan kroni-kroninya. Dari harta Marcos sebesar 100 triliun—bandingkan dengan harta jarahan Soeharto sebesar 600 triliun—hingga kini berhasil diambil sebesar 38 triliun (hampir 1/3). Pengejaran terhadap harta jarahan Marcos tujuannya adalah untuk membongkar kekuatan ekonomi Marcos dan kroninya.

Langkah ketiga adalah membuat semacam human right commision yang tugasnya mengejar para penjahat atau pelaku pelanggaran HAM berat selama rezim Marcos berkuasa. Umumnya rezim totaliter itu melakukan dua kejahatan, yakni korupsi dan kejahatan HAM berat. Penyelesaian atas kedua hal itu (kejahatan korupsi dan pelanggaran HAM) merupakan prasyarat yang harus ada dalam rezim transisi.

Setelah terbentuk konstitusi baru, langkah berikutnya adalah membongkar kekuatan ekonomi Marcos dan kroninya, dan membongkar kejahatan HAM berat yang dilakukan para jendral di masa Marcos berkuasa. Setelah itu barulah Philipina menyelenggarakan pemilu. Melalui langkah-langkah tersebut mereka berhasil menyeleksi semua peserta pemilu. Siapapun pengikut Marcos dan pelaku kejahatan HAM berat tidak bisa ikut dalam pemilu. Lebih dari itu, mereka tidak mungkin mengikuti pemilu karena hartanya sudah disita.

Dalam kasus Cekoslovakia, langkah yang ditempuh pada era transisi adalah membuat Undang-Undang Lustrasi. Partai Komunis Cekoslovakia tidak dibubarkan, tetapi undang-undang Lustrasi itu menetapkan bahwa semua pengurus Partai Komunis Cekolovakia tidak boleh ikut pemilu selama satu periode. Itu namanya affirmative action. Itu dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada kekuatan demokrasi baru untuk muncul. Jika tidak, bagaimana mungkin—misalnya di Indonesia—berhadapan dengan Aburizal Bakrie atau Jusuf Kalla. Atau jika di Bandung berhadapan dengan gubernur yang terlibat dalam dana kapling gate. Mereka itu mendapatkan uang melalui cara korupsi, kemudian harus berhadapan dengan para jenderal. Sehingga akan sukar, misalnya berhadapan dengan Wiranto yang bulan ini mendirikan partai, tiga bulan kemudian ada di 33 propinsi dan hampir 480 kabupaten/kota. Kita berhadapan dengan kekuatan lama—politisi rekondisi, militer rekondisi yang memiliki uang dari hasil jarahan dan terbiasa menggunakan kekuatan represif melalui jaringan intelijen, jaringan teritorial.

Di Indonesia, jembatan transisi tersebut tidak pernah dilakukan. Karena itu, menurut saya, demokrasi kita sekarang ini terbatas. Mereka bilang ada hak sipil. Ya, memang ada hak sipil, tapi Ultimus diserbu. Artinya, kebebasan berpendapat, kebebasan berpikir itu masih menjadi masalah di republik ini. Yang bebas yang kanan itulah, yang kiri tidak boleh berpikir. Padahal, yang disebut hak sipil, iman, keyakinan, ideologi atau apapun adalah bagian dari hak sipil dan tidak boleh dikriminalkan. Sampai hari ini Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Marxisme-Leninisme, Komunisme belum dicabut. Itu penghambat utama hak sipil! Siapa yang tidak mau mencabut itu? Ya Golkar, ya militer, ya Wiranto. Dan lebih hebat lagi sekarang, rezim rekondisi ini, enam orang pelaku penculikan kawan-kawan aktivis—13 orang yang hingga kini masih hilang—sekarang sudah menjadi Dandim (Komandan Distrik Militer). Padahal, 2 orang dipecat, dan sekarang bebas karena sudah dicabut pemecatannya. Hanya satu orang yang dipecat. Semuanya sekarang menjadi Dandim. Memang yang namanya TNI itu pulih sepulih-pulihnya sampai hari ini, sehigga para penculik kawan-kawan aktivis yang hilang sampai hari ini, sekarang sudah berkuasa lagi. Jadi, hampir semua kegiatan kita sekarang berada di bawah pengawasan para penculik kawan-kawan aktivis yang hilang.

Mereka (rezim rekondisi-ed) memang menerima hak sipil, hak politik, tapi masih terbatas. Partai kiri itu tidak boleh. Dan yang lebih parah lagi tentang hak sipil itu, selain TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 adalah rancangan undang-undang KUHP itu masih tetap mengkriminalkan ideologi. Padahal, ideologi sama sekali tidak bisa dikriminalkan. Berpikir Marxis pun sah-sah saja, menjadi komunis pun tidak ada masalah. Apa masalahnya? Sebab, jika berbicara pemberontakkan, siapa pun bisa melakukan pemberontakkan.

Demikian pula di bidang ekonomi, sama sekali tidak ada perubahan. Struktur ekonomi kita praktis tidak berubah sama sekali. 200 konglomerat yang berkuasa di jaman Orde Baru itu berkuasa sampai hari ini. Restrukturisasi ekonomi itu tidak pernah terjadi sama sekali. Nah, menurut saya, apa yang pernah dikerjakan pada 1998 itu tidak lain hanya menjatuhkan Soeharto, tidak berhasil melakukan perubahan struktural. Dan praktis apa yang kita inginkan dalam rezim demokrasi—hak sipil, sosial, ekonomi dan budaya—itu sama sekali tidak berjalan.

Catatan: [*] Tulisan ini adalah transkrip presentasi Fadjroel Rachman dalam Acara May Rally 2007, sesi diskusi buku Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat di Toko Buku Ultimus Bandung, 29 Mei 2007.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Seputar Marhaenis - All Rights Reserved