Headlines News :
Home » » Hentikan Kriminalisasi Petani!

Hentikan Kriminalisasi Petani!

Written By Seputar Marhaenis on Rabu, 02 Mei 2012 | 12.28

karikatur HR
Indonesia masih menjadi lahan subur untuk investasi. Seiring dengan proses itu, kebutuhan tanah untuk kepentingan bisnis juga meningkat. Inilah yang memicu perampasan tanah rakyat di sejumlah daerah.

Di Bengkulu, misalnya, catatan WALHI memperlihatkan, sebanyak 121 orang konglomerat menguasai 454.000 hektar. Sebagian besar diperuntukkan untuk Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan. Sedangkan sisanya dipakai untuk keperluan pertambangan.

Sementara temuan Institute For Global Justice (IGJ) mengungkapkan, sebanyak 175 juta hektar tanah di Indonesia dikuasai oleh asing. Perkebunan sawit terhitung menguasai tanah cukup banyak. Hingga tahun 2011, perkebunan sawit sudah menguasai 8 juta hektar tanah. Sekitar 50% perkebunan sawit itu dikuasai asing dan 2 juta hektar diantaranya adalah pengusaha Malaysia.

Fenomena inilah yang memicu banyak kasus perampasan tanah milik rakyat di berbagai daerah. Sepanjang tahun 2011 saja, terjadi 2.791 konflik agraria di Indonesia. Ironisnya, dalam berbagai konflik agraria itu, para petani terkadang diperhadapkan dengan aparatus kekerasan. Bahkan banyak aktivis petani yang ditangkap dan dipenjara.

Di sini muncul persoalan: para petani yang mempertahankan haknya terkadang diposisikan sebagai pelaku kriminal. Untuk enam bulan pertama tahun 2010, misalnya, terdapat 106 kasus kriminalisasi petani di Indonesia. Sebagian besar kejadian itu terjadi di sektor perkebunan sawit dan pertambangan. Di perkebunan sawit, sepanjang tahun 2006-2010, terdapat 2.357 kasus kriminalisasi petani.

Ada beberapa pemicu kriminalisasi petani ini:

Pertama, lahirnya sejumlah regulasi yang melegalisir perampasan tanah milik rakyat: Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing; Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; terakhir UU Tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan.

Kedua, adanya regulasi yang mengkriminalkan perjuangan petani saat mempertahankan hak-haknya. Lihat saja Undang-Undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan. Di dalam pasal 21 ayat 1: “Setiap orang dilarang melakukan pengamanan usaha kerusakan kebun dan/atau asset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.”

Pada September lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membatalkan pasal 21 dan 47 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan itu. Sayangnya, kriminalisasi aktivis masih terus terjadi hingga sekarang.

Beberapa hari yang lalu, Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) Jambi, Mawardi, ditangkap oleh polisi. Dia dituding telah memprovokasi masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) 113 menguasai lahan HGU PT. Asitic Persada. Padahal, lahan tersebut sejatinya punya masyarakat SAD yang dirampas paksa oleh pengusaha.

Penyebabnya, Polisi masih mengacu pada KUHP. Polisi sering menggunakan pasal 362 KUHP untuk menjerat petani. Bayangkan, petani ditangkap hanya karena mengambil hasil bumi di atas tanahnya sendiri.

Ketiga, Negara–dalam hal ini pemerintah–lebih berpihak kepada kepentingan pemilik modal. Ini ditunjukkan dengan lahirnya berbagai regulasi dan perlakuan khusus kepada pemilik modal ketimbang kepada petani.

Dalam berbagai konflik agraria, negara juga terlihat membentengi kepentingan pemilik modal dengan mengerahkan aparatus kekerasan. Alih-alih menjadi fasilitator dalam konflik agraria, negara justru menjadi perpanjangan tangan kepentingan pemilik modal untuk merampas tanah milik petani.

Keempat, cara pandang negara dalam pengelolaan tanah sangat berorientasi profit dan pro modal asing. Padahal, jika merujuk kepada pasal 33 UUD 1945, penggunaan tanah di Indonesia mestinya untuk kemakmuran rakyat.

Politik agraria kita saat ini sangat kolonialistik. Cara negara mengelola tanah tidak berbeda jauh dengan cara penguasa kolonial dulu. Akibatnya, rakyat pun dikeluarkan dari proses penguasaan dan pemanfaatan tanah itu.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Seputar Marhaenis - All Rights Reserved